Sabtu, 20 Oktober 2012

Tetap Ada Bersamaku

Kau selalu penuh kehidupan, senyuman, dan perhatian.
Hidup merasa kau bagian darinya, dan aku merasa kau bagian dariku.

Britanny L. Hielckert, 14 tahun

Aku anak baru di lingkungan ini. Keluargaku baru saja pindah dari kampung ke kota yang lebih besar. Jadi, aku harus mencari teman baru. Aku tidak tahu bagaimana caranya. Padahal bukan sekali ini aku pindah rumah. Tidak mudah memperkenalkan diri kepada orang yang benar-benar asing dengan harapan dia menyukaimu dan mau berteman.

Jadi, aku sangat kesepian sampai hari dimana aku bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama Brandon. Ia menghampiriku dan bertanya apakah aku mau bermain bersama dia dan teman-temannya. Sejak saat itu kami seperti sahabat. Umurnya lebih tua beberapa tahun dariku, jadi ia sealu memperlakukanku layaknya seorang adik perempuan. Jika tidak sekolah, ia bermain denganku.

Bulan-bulan kulewati dan akhirnya tahun berganti. Persahabatan kami semakin erat. Meskipun Brandon mempunyai lebih banyak teman di sekolah yang juga sering datang ke tempat kami, Brandon masih memperbolehkan aku bermain bersamanya. Walaupun ada teman-temannya, Brandon tidak pernah membiarkan orang lain mengusirku atau menggangguku. Ia selalu ada untukku.

Bila ibuku memanggilku untuk makan malam, aku selalu memohon agar diperbolehkan bermain sebentar lagi. Tapi, Brandon akan berkata, "Tidak, pergilah makan malam dulu. Aku akan menunggumu di sini." Kadang aku berpikir dia tak akan ada di sana saat aku kembali. Tapi ternyata dia selalu menungguku.

Tidak jarang, Brandon membantuku mengerjakan tugas sekolah dan menjelaskan kepadaku pelajaran-pelajaran sekolah. Kalau tidak kami akan bersepeda atau bermain skateboard berkeliling perumahan. Hal terpenting yang diajarkannya adalah menjadi diri sendiri. Dia selalu berkata, "Tak usah peduli omongan orang lain tentang dirimu. Percayalah pada pikiranmu sendiri." Perkataan itu membekas dalam hatiku.

Pada suatu akhir pekan, aku harus pergi ke rumah nenekku. Beberapa minggu sebelumnya, seorang anak bernama Lance pindah ke lingkunganku. Dia terlihat baik. Di hari aku pergi, Brandon bilang dia akan pergi ke rumah Lance untuk bermain video game. "Oke, kita ketemu lagi hari Senin ya," kataku.

Semua berubah saat itu. Brandon menginap di tempat Lance, bermain video game dan menonton film. Sabtu malam itu, mereka bermain nintendo di kamar orang tua Lance. Lance melihat pistol kecil di tempat tidur ayahnya. Dia mengacungkannya ke arah Brandon, dan menarik platuknya. Dia mengira pistol itu kosong. Ternyata dia salah.

Aku baru pulang hari Minggu malam. Ketika aku datang, semua orang di rumahku menangis. Aku ketakutan karena tidak tahu apa yang terjadi. Ibuku mengajakku ke kamarnya dan berkata telah terjadi sebuah kecelakaan. Saat itu, aku merasa semuanya akan berbeda. Akhirnya ibuku menceritakan bahwa Lance secara tidak sengaja telah menembak Brandon. Brandon tidak berhasil diselamatkan. Ibuku tidak menceritakan di bagian mana Brandon tertembak. Tapi aku sudah punya bayangan dari cerita ibuku.

Aku menagis dan berlari ke kamarku, menyembunyikan wajahku di balik bantal. Aku tidak ingin bertemu siapa pun.

Beberapa hari kemudian, kami menghadiri upacara pemakamannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menagis. Aku melihat ke atas dan berpikir, Brandon sekarang ada di tempat yang lebih baik. Brandon mengenal Tuhan. Itu membuat hatiku lega. Semua ini terjadi tujuh tahun yang lalu. Sekarang aku berumur tiga belas tahun. Bagiku, tetap saja tiada hari tanpa memikirkannya. Aku selalu menagis bila melewati kompleks pemakaman, Sahabatku telah tiada, tapi persahabatan yang telah ia tunjukkan kepadaku-anak baru di lingkungan yang asing- tetap hidup dalam hatiku.

Jaime Fisher, 13 Tahun
Sumber: Chicken Soup for the Preteen Soul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar