Kamis, 29 November 2018

R.I.N.D.U

Aku rindu bukan siapa diriku, aku rindu bukan kepada siapa itu.
Aku rindu untuk jujur lepas tentang rasaku.
Aku rindu saat aku dapat menangis tanpa berpikir bahwa aku akan terlihat lemah.
Aku rindu saat aku mampu mengungkapkan apa yang sesungguhnya aku rasakan.

Aku bertumbuh, aku menjadi dewasa, aku mengerti dan aku memahami.
Namun dari semua pemahamanku tentang perkembangan diriku menjadi lebih baik.
Aku merasa aku harus mampu untuk menjadi lebih kuat, yang terkadang berakhir dengan aku yang justru tidak mampu jujur.

Bukan kebohongan, bukan manipulasi.
Tapi aku merasa semua emosi itu tertahan.
Aku bangga aku mampu.
Tapi disisi lain seakan aku melukai diriku sendiri disetiap emosi yang aku kendalikan.

Aku tahu itu harus, aku tahu posisiku, aku tahu keadaanku.
Dan aku berpikir itu yang seharusnya terjadi, itu yang seharusnya aku perbuat.
Tapi disisi lain diriku penuh luka disebabkan oleh diriku sendiri.

Aku membohongi semua.
Terlihat bahagia.
Bahwa tidak apa-apa.

Tapi aku menjadi semakin jauh.
Seakan berjalan berlawanan arah dari apa yang seharusnya aku tuju.
Tapi aku tetap berpikir ini baik, ini yang seharunya.

Terus memendam rasa.
Rasa suka, rasa cinta, rasa sayang, rasa marah, rasa sedih, rasa kecewa, rasa terluka.

Aku suka kamu, tidak mampu aku katakan.
Aku cinta kamu, aku pun mulai ragu akan rasaku. Apakah rasa ini memudar dengan seiring menjauhnya kita dari semua aktivitas bersama?
Aku sayang kamu, aku tahu, aku rasakan itu, aku ungkapkan dan aku sampaikan, karena bagiku sayang itu universal semua dapat aku sayangi, semua dapat aku kasihi.
Tapi diamnya dirimu membuat aku kembali berpikir bahwa kini mungkin hanya tinggal aku sendiri.

Aku suka kamu, aku simpati, aku sayang, aku tertarik.
Rasanya menyenangkan saat kamu menyapa, saat kamu peduli.
Tidak bisa aku ungkapkan.
Karena posisiku dan dirimu kini. Karena keadaanku dengan dirinya yang bagai hubungan tanpa cinta.
Tidak tahu mengapa kami bertahan, tidak paham mengapa kami memulai.
Aku rasa aku mulai menyukai dirimu yang bukan dirinya.
Akankah semua berakhir sama? Karena aku yang salah?

Aku marah, aku sedih aku kecewa, aku terluka.
Sebab kamu seakan biasa. Sebab kamu seakan tak peduli. Sebab kamu tak lagi ungkapkan cinta.
Sebab kamu berkata tidak ada lagi rindu justru jenuh yang kau rasa.
Sebab kamu mengaku bahwa sayang itu kini tak lagi sama.
Apakah aku yang salah? Apakah aku yang tidak peduli? Apakah aku?

Aku sedih, aku kecewa, aku terluka.
Bukan aku tidak menghargaimu atau tidak menyayangimu.
Tapi semua kekangmu terkadang membuatku jenuh.
Aku ingin lepas, bebas dan memiliki diriku sepenuhnya.

30.11.2018
Aku,Kamu,Dia,&Mama

Maaf aku merasa tidak setia, aku tidak berbuat lebih jauh dari sekadar melihat, tapi hatiku tak mampu berdiam diri. Tenang saja kontrol diri ini masih cukup untuk menjaganya tetap disisiku, meski aku tak tahu akan sampai kapan bila kau terus merasa kehampaan saat itu tentang dirimu.

Minggu, 16 September 2018

Kesibukan dan Ketiadaan akan Waktu

Sering kali kita berkata bahwa kita tidak memiliki waktu. Namun kita tahu bahwa sesungguhnya waktu kita semua di dunia ini adalah sama, tidak kurang tidak lebih barang satu detikpun juga dalam menjalani harinya sampai dengan ajal menjemput kita diakhir kehidupan. Terkadang kita memiliki mental lemah yang dapat dikatakan cacat. Mental dimana kita ingin selalu dikasihani dan merasa sudah melakukan yang terbaik dan berharap memperoleh yang tebaik juga. Padahal kita belum memerah diri sebegitu kerasnya.

Terkadang kita berkata tidak ada waktu, padahal hanya kita yang tidak bisa menentukan prioritas mana yang harus kita dahulukan. Mana yang lebih penting dan berharga. Karena sesungguhnya semua orang pun sama memiliki waktu yang sama. Terkadang hanya alasan kita untuk tidak melakukan suatu pekerjaan karena memang tidak menyukainya.

Seperti aku sekarang ini, berkata "kita" namun sesungguhnya adalah "saya". Semua yang aku katakan adalah tentang diriku sendiri, yang merasa lemah dan ingin dimaklumi. Mentalku lemah, diriku terbawa aliran waktu mengalir apa adanya. Diriku kehilangan arah, siapakah aku?

Aku berdoa, aku berharap tanpa berusaha. Kemanakah aku akan berakhir? Hanya kegagalan dan kekecewaan karena tidak mampu menyelesaikan segala yang didoakan tersebut. Namun salah siapa? Diriku sendiri.

Karena aku bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Kemana aku, apa yang aku lakukan, bagaimana aku akan berakhir dan dikenang. Aku mulai berpikir jauh kemasa depan yang belum terjangkau. Namun sudah mampu aku pikirkan. Apakah aku akan jadi ibu yang baik? Menjadi ibu rumah tangga atau tetap menjadi wanita karir? Salahkan menjadi wanita yang berkarir? Egoiskah pada anakku nanti?

Kemajuan zaman dan "emansipasi" katanya aku tak tahu kemana hatiku ingin pergi. Aku tak ingin hidup tanpa menghasilkan, tapi aku tetap bisa menghasilkan didikan yang baik aku harap. Bagaimana caranya? Hanya dengan aku yang mampu dan memiliki kemampuan. Maka sebab itulah kita harus menjadi mampu dan tidak berhenti belajar karena inilah hidup.

Aku melihat sekelilingku dimana wanita bekerja dari pagi hingga larut. Dimana anak-anak yang masih butuh sosok yang diikuti melihat pada orang lain terkadang baby sister atau mungkin nenek yang menjaganya. Aku harap bila aku memiliki buah hati aku bisa ada disana melihat perkemangan mereka dan mereka melihatku sebagai sosok ibu bukan hanya orang yang pulang malam dan melihat mereka tertidur.

Aku harus mampu.

Karena apa aku berkata? Ibuku selalu ada, tapi aku tahu rasanya sepi hanya mampu melihat punggungnya. Aku seperti manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang, karena aku merasa aku selalu kesepian. Aku harap aku tidak membuat orang lain merasakan hal yang sama. Tapi mungkin aku pun akan egois dalam pilihan hidup dengan ingin tetap bekerja. Dilema kehidupan.

Dilema yang bahkan masih jauuh sekali dipandangan mata namun sudah terus terpikirkan saat ini.

Salam
Aku yang belum tahu arah.
16.09.18


Senin, 09 April 2018

Aku dan Tulisan

Aku tidak yakin bahwa tulisanku bagus.
Aku tidak tahu kalau bahasaku benar. Apakah sudah mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan? Aku bahkan terkadang tidak memikirkan apa yang ingin aku tulis. Harus sepanjang apa, harus seperti apa.

Aku hanya ingin menulis, ini kah hobi? Aku pun tak yakin padanya. Aku hanya merasa aku selalu menjadi lebih baik setelah aku menulis. Disaat aku sedih, disaat aku terluka disaat aku tak tahu apa yang aku rasa. Aku menulis dan hanya memulainya begitu saja. Dari awal yang aku tak tahu aku ingin menulis apa akhirnya aku mulai bercerita, terkadang aku memulainya dengan kalimat tanya.

Aku bertanya aku kenapa? Apa yang aku rasakan? Apa yang aku pikirkan? Apa yang aku inginkan? Siapa diriku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Terkadang aku juga merasa saat aku membaca kembali apa yang aku tuliskan. Terkesan selalu sama. Masalah yang aku hadapi kembali pada titik yang sama. Seakan aku tidak berkembang maju melaluinya.

Aku memilih menulis. Bagaimana dengan dirimu wahai pembaca? Apa yang kamu pilih saat kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan apa yang kamu rasakan. Aku bukanlah penulis. Aku bukan seorang puitis. Menulis menjadi salah satu cara bagiku untuk berbicara kepada kamu, kepada diriku sendiri. Aku yang penyendiri, aku yang menutup diri. Aku bahagia saat aku dapat menenangkan diri melalui tulisan ini. Aku bahagia saat aku merasa dapat berkomunikasi dengan diriku sendiri.

Wahai diriku
Ya..
Kamu yang ada disana. Mengapa kamu selalu kembali bersedih? Aku tahu tidak segala hal selalu berjalan dengan baik. Aku tahu kamu sedang memikirkan aku. Terimakasih. Terimakasih sudah memikirkan aku dan segala tugas serta tanggung jawabku. Batasan waktu itu memang mengekang kita.

Sampai aku merasa ditahap aku tidak dapat bahagia. Wahai tugas berhentilah, aku lelah. Tapi aku tahu hal itu tak ada gunanya. Selain aku harus terus berusaha berjalan mengejar ketertinggalan. Apalagi yang mampu aku lakukan. Semua demi sebuah cita dan harapan. Aku harap semua ini segera dapat dilalui. Meski aku tahu setelah semuanya, aku tak tahu apalagi yang menanti. Aku tak tahu apalagi yang akan aku tuju.

Bagaimanapun aku berusaha menyukainya, aku tetap tidak suka. Aku tidak suka batasan waktu ini yang mengekang kita. Aku tidak suka. Tapi aku harus mengalahkannya. Aku memang bingung dan tak tahu arah. Aku tahu aku tidak bisa melakukannya semudah aku menulis disini. Karena pemikiran itu harus dilandasi data yang lebih terkini. Tapi aku rasa metodeku disini tetap dapat berlaku.

Aku yang tak tahu mau menulis apa. Aku hanya duduk berusaha menuliskan apa yang aku pikirkan, bukan sebuah karya tentu saja, tetapi akhirnya menjadi suatu buah pemikiran yang aku curahkan yang selanjutnya dapat aku telaah kembali benang penghubung diantaranya untuk analisis lebih mendalam.

Apapun itu tidak akan selesai dengan dipikirkan. Semua harus kita kerjakan. Apapun itu lakukan dulu. Bergeraklah dan mulai. Semua sulit saat memulainya. Tapi kamu harus mencoba.

Salam,
Tukang ketik yang sedang malas dan buntu.
Mengenai data dan persetujuan.
Mengenai waktu dan harapan.
Dari aku yang mulai takut dan gelisah disaat waktu semakin dekat.
Dapatkah aku menyelesaikannya sebelum waktu bergerak pergi?

09 April 2018

Minggu, 08 April 2018

Worry and Spirit

Mungkin ini akan jadi cerita yang lebih pribadi.
Saat ini rasanya aku sedang butuh banyak semangat lebih untuk berhenti menjadi orang yang jahat dan bodoh. Kejahatan terbesar yang aku lakukan. Kejahatan yang tidak termaafkan. Kejahatan pada diri sendiri. Mungkin kalian berpikir aku aneh karena merasa bahwa itu adalah kejahatan yang paling buruk dari yang terburuk.

Menyakiti orang lain tentu hal yang buruk aku pun setuju akan hal itu. Namun, kejahatan pada diri sendiri bagiku adalah hal yang lebih tidak dapat aku maafkan. Karena saat kita menyakiti orang lain, kita juga sudah menyakiti diri kita sendiri. Melukai jati diri kita, harga diri kita, batin kita, nurani kita, jiwa kita yang murni. Kita mungkin dapat menahan diri, kita mungkin dapat menjaga sikap saat berhadapaan dengan orang lain, saat ada orang lain yang memperhatikan kita. Tapi kita akan menjadi diri kita seutuhnya saat kita hanya sendiri, apakah hal yang kita lakukan adalah hal yang tetap baik atau kita berubah 180 derajat dari diri kita biasanya. Kita yang biasa memakai topeng untuk menutupi diri, menjadi sebaik-baiknya dihadapan orang lain akan menjadi diri kita sendiri saat berada di wilayah privasi kita. Kita yang menutup diri dan minder dengan kemampuan kita akan menjadi apa adanya saat tidak diperhatikan (seperti kita yang bernyanyi saat di kamar mandi).

Kita mungkin tidak merasa bersalah bila menyakiti diri sendiri, karena itu adalah diri kita sendiri. Aku tidak berpikir demikian, justru karena itu adalah diri kita sendiri sudah seharusnyalah kita menjaganya. Bukan untuk menjadi egois dan hanya mementingkan diri kita sendiri, namun untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena dalam hidup ini apapun dapat pergi dan hilang dari dirimu kecuali dirimu sendiri. Ia akan selalu ada dan menemani hingga akhir hidupmu, ia yang akan setia bersamamu, baik dan buruknya dirimu, menemanimu, menerima siapa kamu. Namun ia yang telah kamu sakiti, dengan tidak berjuang sekuat tenagamu untuk dirimu sendiri yang begitu tulus dan setia. Kamu jauh lebih berjuang dan berusaha membahagiakan orang lain lebih dari dirimu sendiri. Terkesan egois memang, tapi bukan itu yang aku maksud. Tapi apapun juga kamu harus menjadi mampu, kamu harus menjadi bisa, kamu harus menjadi nomor satu bagi dirimu sendiri, agar orang lain tidak dapat menyakitimu.

Berapa banyak orang yang mencintai orang lain sebegitu besarnya hingga menyakiti dirinya sendiri diakhir kisah perpisahan. Berapa banyak orang yang jatuh sakit karena terlalu mencintai pekerjaannya yang akhirnya hanya membawa kertas dan nilai yang berharga didunia. Aku tidak berkata untuk tidak mencintai setulus hatimu, aku tidak berkata untuk bekerja dengan santai. Bukan itu garis utama yang ingin aku sampaikan. Mungkin pada akhirnya hal utama yang aku sampaikan adalah kehidupan yang seimbang antara pekerjaan cinta dan dirimu sendiri. Namun sulit untuk menjadi adil bahkan dengan satu pembanding, dengan kehidupan kita yang begitu banyak urusan kita mungkin menjadi tidak adil. Kamu butuh juga istirahat, kamu butuh juga waktu untuk dirimu sendiri, kamu butuh juga waktu untuk melihat kedalam dirimu sendiri, kamu butuh waktu untuk keluargamu.

Sulit menjadi seimbang aku tahu itu. Itulah yang aku sesalkan, aku sulit seimbang pada diriku sendiri. Sesuatu didalam diriku sedang meronta-ronta ingin berjuang lebih keras, saakan ia dipenjara oleh rasa malas. Logika atau rasaku yang berkata? Bahwa aku tidak suka kehidupan seperti ini, aku tidak suka kekangan ini, aku tidak suka pekerjaan ini, aku tidak suka meneliti. Aku ingin bebas. Kapan aku bebas? Apakah setelah bebas aku mampu bahagia? Apakah itu adalah kebahagiaan ku? Mengapa aku letakkan kebahagiaanku disana? Mengapa tidak aku bawa bersamaku saat ini? Ada bagian dari diriku berkata aku ingin ini segera selesai. Lakukanlah yang terbaik. Kerjakanla maka ia akan kamu lalui nantinya, menjadikan dirimu lebih baiklagi. Tapi ada pula dari diriku yang berkata, aku ingin ini, ingin ini, ingin ini, hal-hal yang menyenangkan, hal-hal penggembira bukan tentang masa depan. Lalu aku tersadar saat aku bicara lagi, apakah ada dua diri dalam diriku?

Aku yang ingin mengerjakannya dan aku yang ingin bersantai-santai. Aku ingin berhenti menjadi malas dan bodoh. Aku ingin berhenti membodohi diriku sendiri. Aku harus berhenti. Aku harus berhenti malas dan tidak berjuang. Aku harus berhenti jalan ditempat dan bahkan mundur kebelakang. Aku butuh pemacu, aku butuh semangat.

Aku butuh
.
.
.

Dimana dirimu?
Mengapa kamu tidak ingin melakukan ini?
Apa yang ingin kamu lakukan?

Aku dan diriku yang sedang dilanda dilema batin mengenai TA
9 April 2018
Diketik di Jakarta dijam-jam yang kucuri.