Kamis, 27 Desember 2012

Kasih yang Sebenarnya



Sejak kuliah, radio merupakan salah satu teman yang selalu menemani saya ketika sedang mengerjakan tugas, belajar, maupun santai. Tidak pernah bosan rasanya mendengarkan acara-acara yang disajikan oleh berbagai macam stasiun radio. Pada suatu malam, di sebuah stasiun radio, sedang berlangsug acara dimana orang-orang berbagi pengalaman hidup mereka. Perhatian saya yang semula tercurah pada tugas statistic beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya.

Wanita ini adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran Kota Jakarta. Sejak kecil ia sering dimarahi oleh ayahnya. Dimata sang ayah, tak satu pun yang dikerjakannya benar. Setiap hari, ia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan ayahnya. Sayangnya, tetap saja ketidakpuasan sang ayah yang ia dapatkan.

Ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-17, tidak sepatah pun ucapan selamat yang keluar dari mulut ayahnya. Hal ini membuat ia semakin marah pada ayahnya. Sosok ayah yang melekat pada dirinya adalah sosok yang pemarah dan tidak memperhatikan dirinya. Akhirnya, ia memberontak dan tak pernah satu  hari pun ia lewati tanpa bertengkar dengan ayahnya. Beberapa hari setelah ulang tahunnya yang ke-17, ayahnya meninggal dunia akibat penyakit kanker yang dideritanya. Penyakit ini tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun,  kecuali pada istrinya. Walaupun merasa sedih dan kehilangan, di dalam diri sang anak tersebut tetap tersimpan kemarahan terhadap ayahnya.

Pada suatu hari, ketika sedang membantu ibunya membereskan barang-barang peninggalan almarhum ayahnya, ia menemukan sebuah bingkisan yang dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis, “Untuk Anaktu Tersayang.” Dengan hati-hati, diambilnya bingkisan tersebut dan membukanya. Didalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah lama ia inginkan. Disamping kedua benda itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan-lahan ia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, yang ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya. Yang berisi, seperti berikut ini:

Ya Tuhan,
Terima kasih karena Engkau telah mempercayai diriku yang rendah ini untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku.
Kumohon ya Tuhan,
Jadikan anakku orang yang berarti bagi sesame dan bagi-Mu.
Janganlah Engkau hanya memberikan jalan yang lurus dan luas membentang, tetapi berikan pula ia jalan yang penuh liku dan duri agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya.
Sekali lagi kumohon ya Tuhan,
Sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh dan jadikan ia sesuai dengan kehendak-Mu.
Selamat ulang tahun anakku,
Doa ayah selalu menyertaimu.

Meledaklah tangisannya usai membaca tulisan yang terdapat dalam kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Dalam pelukan ibunya, ia menceritakan semua tetang bingkisan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya. Akhirnya, ibu itu pun menceritakan bahwa ayahnya memang sengaja merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar sang anak menjadi wanita yang kuat, dan tidak terlalu merasa kehilangan sosok seorang ayak ketika ajal menjemputnya akibat penyakit kanker itu.

Sesungguhnya apa yang tampak dari luar belum tentu sama seperti apa yang ada didalamnya, seperti seorang ayah yang keras tidak serta merta hatinya pun sama kerasnya dengan sikap yang ia tunjukan. Bahkan sesungguhnya apa yang tidak terlihat itulah yang sejati dan nyata. Seperti kasih yang tak terlihat wujudnya tapi kasih itu nyata dan abadi.

Biar bagaimanapun kerasnya orang tua kita, yakinilah bahwa tak ada satu orang tua pun yang menginginkan anaknya celaka. Mereka pasti berbuat hal itu untuk kebaikan kita, hanya terkadang ada beberapa situasi yang bertentangan antara pemikiran orang  tua kita dan pemikiran kita, karena tidak semua hal yang menurut orang tua kita baik juga kita anggap baik. Karena setiap manusia terbentuk melalui perjalanan hidup yang berbeda-beda yang mengakibatkan pembentukan cara berpikir yang juga berbeda.

Sumber : Semangkuk Mie Kuah (Y. Rumanto)
Penerbit : OBOR
Sunting by: Vimala Sari 

Penggosip


Seorang wanita menyebarkan sebuah berita yang memalukan mengenai tetangganya. Dalam beberapa hari, seluruh desa mengetahui berita yang memalukan itu. Dan, orang yang menjadi korbannya merasa sakit hati dan terpukul.

Kemudian, wanita yang menyebarluaskan berita buruk tersebut mengetahui bahwa berita itu sebenarnya salah. Dia menyesal dan mendatangi orang tua yang bijak untuk meminta nasihat mengenai apa yang dapat ia lakukan untuk memperbaiki kesalahannya itu.

"Pergilah ke pasar," kata orang tua bijak itu, "dan belilah alat pembersih yang terbuat dari bulu-bulu ayam (kemoceng). Kemudian, dalam perjalanan pulang, cabuti bulu-bulunya dan buang satu per satu di sepanjang jalan. Setelah itu kembalilah kemari."

Meskipun terkejut mendengar saran tersebut, ia melakukan apa yang disarankan oleh orang bijak tersebut. Namun, ia masih belum bisa memperbaiki kesalahannya karena telah menyebarluaskan berita bohong itu kepada seluruh penduduk desa. Setelah selesai, ia kembali menemui orang bijak tersebut. Orang bijak tersebut berkata, "Sekarang pergilah dan kumpulkan semua bulu yang telah kau buang tersebut dan bawa kembali kepadaku."

Wanita itu pun menyusuri jalan yang telah dilaluinya kemarin dan berusaha mengumpulkan bulu-bulu ayam yang telah dicabutinya. Sayangnya, angin telah menerbangkan bulu-bulu tersebut ke segala penjuru sehingga mustahil untuk ia bisa mengumpulkan semuanya kembali dan ia hanya bisa mengumpulkan beberapa helai bulu. Lalu, ia kembali menemui orang bijak itu.

"Lihatlah!" kata orang bijak itu, "sangatlah mudah mencabuti bulu ayam dan melemparkannya ke mana Anda suka. Namun, sangat sulit untuk mengumpulkannya kembali. Begitu pula dengan gosip dan berita bohong. Tidak sulit untuk menyebarkan rumor, tetapi sekali terlempar, Anda tidak akan pernah secara penuh memperbaiki kesalahan Anda."

Perlu kita sadari bahwa begitu mudah untuk mengucapkan sesuatu, terkadang sangking mudahnya kita tidak berpikir apa yang akan terjadi karena perkataan kita, tapi setelah perkataan itu kita lontarkan, perkataan itu tak dapat lagi kita tarik.

Sumber : Semangkuk Mie Kuah  (Y. Rumanto)
Penerbit : OBOR
Sunting by : Vimala Sari

Jumat, 21 Desember 2012

Tersenyumlah Pada Kehidupanmu :)

 
Kehidupan kita mungkin terkadang terasa begitu berat dan sulit untuk kita jalani, namun kehidupan itu adalah bahagia. 

Belakangan ini saya baru saja menyadari, bahwa kehidupan ini dapat terasa bahagia atau tidak adalah tergantung dari diri kita sendiri. Mengapa saya dapat mengatakan demikian? Tentu saja saya mengatakan hal tersebut karena dilandasi oleh beberapa alasan, salah satu faktor yang mempengaruhi saya adalah latar belakang agama saya yaitu, agama Buddha, karena dalam agama Buddha kita diajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita merupakan tanggung jawab kita sendiri, kita tidak dapat menyalahkan orang lain atas kesulitan yang kita hadapi. 

Justru dengan semakin kita menyalahkan orang lain atas kesedihan atau kesusahan yang kita alami kita akan semakin larut dalam kesedihan kita sendiri, karena dalam mind set kita, kita berpikir "aku tidak bisa bahagia karena dia", "aku susah karena dia", kita tidak akan merasa bahagia saat kita berada didekatnya, padahal mungkin saja dia saudara, orang tua, anak, atau pasangan hidup kita yang harus kita temui setiap hari. Lalu bagaimana kita bisa menjadi bahagia apabila kita meletakan kebahagiaan kita pada orang lain. 

Karena pada kenyataannya kita hidup tidak dapat mengatur orang lain kita tidak dapat mengendalikan atau merubah orang lain apabila orang tersebut tidak mau berubah. Tapi kita memiliki kendali penuh atas diri kita sendiri, kita dapat merubah diri kita sendiri, walau sulit tapi itu bukan hal yang mustahil, kita hanya perlu waktu sedikit lebih lama untuk dapat merubah suatu kebiasaan yang kita miliki. Dan bersabar serta meyakini bahwa semua kerja keras dan penantian kita akan menghasilkan buah yang manis nantinya. 

Misalnya jika kita ilustrasikan, saat kita baru pulang bekerja dan ingin mengistirahatkan tubuh kita yang telah lelah bekerja sedari pagi datanglah saudara kita atau orang tua kita yang memarahi kita karena kesalahan kita misalnya masuk masih dengan sepatu yang kotor ke dalam rumah dan membuat rumah menjadi kotor. Kita tidak dapat mengendalikan orang tersebut untuk tidak marah karena kita tidak memiliki kekuatan untuk meredakan kemarahannya seketika. Tapi kita dapat memilih respon seperti apa yang akan kita berikan terhadap kemarahan yang ia nyatakan tersebut. Kita dapat memilih untuk ikut terpancing dan menjadi marah atau dengan tenang meminta maaf dan menyatakan bahwa kita akan membersihkannya segera. 

Kedua respon itu dapat kita kendalikan karena berasal dari diri kita sendiri, dan kedua respon tersebut akan memberikan hasil yang amat sangat jauh berbeda. Mungkin jika kita memilih untuk ikut terpancing kemarahannya, kita akan ribut panjang dan membuat kita semakin lelah, sedangkan kalau kita memilih respon kedua kita pasti akan dapat menghindari keributan besar.

Tapi saya mengerti betul bahwa mengendalikan kemarahan kita tidaklah mudah, apalagi saat kita sedang lelah atau juga sedang marah. Tapi kembali lagi, hal itu memang sulit tapi bukan mustahil kita hanya perlu waktu dan kesabaran untuk menghasilkan hasil yang lebih baik nantinya.

So, sebenarnya kebahagiaan itu terletak dalam genggaman kita sendiri, banyak diantara kita yang sering kali berpikir bahwa aku akan bahagia dan senang sekali bila bisa memiliki suatu barang tertentu atau memiliki seseorang. Bahkan tidak saya pungkiri, saya sendiri pun sering kali merasakan hal tersebut. Tapi pada hekekatnya manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, saat kita sudah memiliki hal tersebut kita pasti akan menginginkan hal yang lain lagi, jadi kapan kita akan merasa bahagia? Dan kesalahan lainnya adalah karena kita meletakkan kebahagian kita pada hal yang belum kita miliki, tentu saja kita tidak merasa bahagia karena kita tidak memilikinya, mengapa tidak kita letakan kebahagiaan kita terhadap hal yang sudah kita miliki (rasa bersyukur) karena hal ini akan merubah pandangan kita terhadap hidup ini. Karana saat kita mau membuka mata hati kita, kita dapat menemukan banyak hal yang sepatutnya kita syukuri keberadaanya.

Jadi kesimpulannya, hidup itu indah dan bahagia hanya terkadang kita melihatnya dari sudut pandang yang salah dan membuat kehidupan terasa begitu menyedihkan. Maka "Tersenyumlah Pada Kehidupanmu" :)

Sekian post saya kali ini, semua tulisan diatas adalah hasil pemikiran saya sendiri, dan saya pun masih belajar untuk menjadi lebih baik dan memandang hidup ini menjadi lebih indah dari sebelumnya, maka marilah sama-sama kita belajar. Dan saya juga membuka diri untuk menerima masukan dan juga kritik yang membangun karena mungkin saja apa yang saya pikirkan adalah salah. Dan saya tidak menginginkan pandangan saya yang salah dapat membuat orang lain ikut memiliki pandangan yang salah mengenai kehidupan ini.

Terima kasih ^^





Rabu, 28 November 2012

Katakan Bila Kau Cinta !

Kisah ini terjadi di Beijing Cina, seorang gadis bernama Yo Yi Mei memiliki cinta terpendam terhadap teman karibnya di masa sekolah. Namun ia tidak pernah mengungkapkannya, ia hanya selalu menyimpan di dalam hati & berharap temannya bisa mengetahuinya sendiri.Tapi sayang temannya tak pernah mengetahuinya, hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih.

Suatu hari Yo Yi Mei mendengar bahwa sahabatnya akan segera menikah hatinya sesak, tapi ia tersenyum aku harap kau bahagia. Sepanjang hari Yo Yi Mei bersedih, ia menjadi tidak ada semangat hidup, tapi dia selalu mendoakan kebahagiaan sahabatnya

12 Juli 1994 sahabatnya memberikan contoh undangan pernikahannya yang akan segera dicetak kepada Yi Mei, ia berharap Yi Mei akan datang, sahabatnya melihat Yi Mei yang menjadi sangat kurus dan tidak ceria. Dan bertanya,"apa yg terjadi dengan mu, kau ada masalah ?"

Yi Mei tersenyum manis sambil berkata "mungkin kau salah lihat, aku tak punya masalah apa-apa dan wah contoh undanganya bagus yah, tapi aku lebih setuju jika kau pilih warna merah muda, lebih lembut." Begitu cara ia mengomentari rencana undangan sahabatnya.

Sahabatnya tersenyum sambil berkata "Oh ya, hmmm aku akan menggantinya, terima kasih atas sarannya Mei, aku harus pergi menemui calon istriku, hari ini kami ada rencana melihat-lihat perabotan rumah, daaah"

Yi Mei tersenyum, melambaikan tangan, Ia pulang dengan hati yang sakit.

18 Juli 1994 Yi Mei terbaring di rumah sakit, ia mengalami koma, Yi Mei mengidap kanker darah stadium akhir. Kecil harapan Yi Mei untuk hidup, semua organnya yang berfungsi hanya pendengaran, dan otaknya, yang lain bisa dikatakan mati dan semuanya menggunakan alat bantu, hanya mukjizat yang bisa menyembuhkannya. Sahabatnya setiap hari menjenguknya, menunggunya, bahkan ia menunda pernikahannya. Baginya Yi Mei adalah tamu penting dalam pernikahannya. Keluaga Yi Mei sendiri setuju memberikan suntik mati untuk Yi Mei karena tak tahan melihat penderitaan Yi Mei.


10 Desember 1994 Semua keluarga setuju besok 11 Desember1994 Yi Mei akan disuntik mati dan semua sudah ikhlas, hanya sahabat Yi Mei yang mohon diberi kesempatan berbicara yang terakhir, sahabatnya menatap Yi Mei yang dulu selalu bersama sambil mendekat berbisik di telinga Yi Mei, "Mei apa kau ingat waktu kita mencari belalang, menangkap kupu-kupu? Kau tahu, aku tak pernah lupa hal itu, dan apa kau ingat waktu di sekolah waktu kita dihukum bersama karena kita datang terlambat, kita langganan kena hukum ya? Apa kau ingat juga waktu aku mengejekmu, kau terjatuh di lumpur saat kau ikut lomba lari, kau marah dan mendorongku hingga akupun kotor? Apakah kau ingat aku selalu mengerjakan PR di rumahmu? Aku tak pernah melupakan hal itu Mei, aku ingin kau sembuh, aku ingin kau bisa tersenyum seperti dulu, aku sangat suka lesung pipitmu yang manis, kau tega meninggalkan sahabatmu ini?"

(Tanpa sadar sahabat Yi Mei menangis, air matanya menetes membasahi wajah Yi Mei)

"Mei, kau tahu, kau sangat berarti untukku, aku tak setuju kau disuntik mati ,rasanya aku ingin membawamu kabur dari rumah sakit ini, aku ingin kau hidup, kau tahu kenapa? Karena aku sangat mencintaimu, aku takut mengungkapkan padamu, takut kau menolakku meskipun aku tahu kau tidak mencintaiku, aku tetap ingin kau hidup, aku ingin kau hidup, Mei tolonglah, dengarkan aku Mei, bangunlah!"

(Sahabatnya menangis, ia menggengam kuat tangan Yi Mei)

"Aku selalu berdoa Mei, aku harap Tuhan berikan keajaiban buatku, agar kau dapat sembuh, sembuh total, aku percaya, bahkan kau tahu? Aku puasa agar doaku semakin didengar Tuhan Mei, aku tak kuat besok melihat pemakamanmu, kau jahat! Kau sudah tak mencintaiku, sekarang kau mau pergi, aku sangat mencintaimu aku menikah hanya karena ingin membuat dirimu tidak lagi dibayang-bayangi diriku sehingga kau bisa mencari pria yang selalu kau impikan, hanya itu Mei. Seandainya saja kau bilang kau mencintaiku, aku akan membatalkan pernikahanku, aku tak peduli tapi itu tak mungkin, kau bahkan mau pergi dariku sebagai sahabat"

(Sahabat Yi mei mengecup pelan dahi Yi Mei)

Sambil berbisik, "Aku sayang kamu, aku mencintaimu"

(suaranya terdengar parau karena tangisan.)

Dan kalian tahu apa yang terjadi ? Its amazing! CINTA bisa menyembuhkan segalanya.



7 jam setelah itu dokter menemukan tanda tanda kehidupan dalam diri Yi Mei, jari tangan Yi Mei bisa bergerak, jantungnya, paru-parunya, organ tubuhnya bekerja, sungguh sebuah keajaiban! Pihak medis menghubungi keluarga Yi Mei dan memberitahukan keajaiban yang terjadi. Dan sebuah mukjizat lagi masa koma lewat .

Pada tanggal 14 Des 1994 Saat Yi Mei bisa membuka matanya dan berbicara, sahabatnya ada di sana, ia memeluk Yi Mei menangis bahagia, dokter sangat kagum akan keajaiban yang terjadi.

"Aku senang kau bisa bangun, kau sahabat terbaik ku"

(sahabatnya memeluk erat Yi Mei)

Yi Mei tersenyum dan berkata,"Kau yang memintaku bangun, kau bilang kau mencintaiku,tahukah kau aku selalu mendengar kata-kata itu, aku berpikir aku harus berjuang untuk hidup Lei, aku mohon jangan tinggalkan aku ya, aku sangat mencintaimu"

Lalu Lei memeluk Yi Mei dan berkata, "Aku juga sangat mencintaimu"


17 Februari 1995 Yi Mei & Lei menikah, hidup bahagia dan sampai dengan saat ini pasangan ini memiliki 1 orang anak laki-laki yang telah berusia 14 tahun. Kisah ini sempat menggemparkan Beijing.

Sumber : Sumber
(dengan sedikit perubahan)

Sabtu, 17 November 2012

Apakah Perbuatan Baik Dapat Mengubah Nasib?

Telah banyak sekali kudengar tentang ramalan-ramalan para nabi dan astrolog dan hal yang di atas itu menarik perhatianku. Ini disebabkan karena ramalan-ramalan itu kadang-kadang tepat dan sukar dimengerti.

Pada umumnya aku tak dapat menerima atau percaya mukjizat-mukjizat yang belum kusaksikan sendiri. Di samping itu aku sebenarnya tidak pernah percaya occultisme atau astrologi. Kalau ada orang yang membicarakan hal ini, pada umumnya aku hanya menganggukkan kepala saja dan berkata “ya” atau “tidak”, sekedar untuk jangan membuat mereka tersinggung. Tetapi peristiwa yang akan kuceritakan di bawah ini benar-benar terjadi kepada diriku sendiri. Kalau Anda nanti tidak percaya, aku pun tidak akan merasa tersinggung, karena pada mulanya aku sendiripun tidak percaya. Namun kalau sekiranya peristiwa yang akan kuceritakan dibawah ini membuat Anda lebih mempunyai rasa perikemanusiaan dan manis budi terhadap masyarakat di sekeliling Anda, maka hal itu membuat saya gembira sekali, karena pengalamanku telah membuat beberapa diantara saudara menjadi bahagia.

Cerita ini dimulai beberapa bulan sebelum pecah perang Pasifik. Aku sedang membaca sebuah harian dan istriku masuk ke dalam rumah setelah memberi dana kepada para Bhikkhu. Ia langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa. Setelah duduk di sebelahku, ia berkata: “Suamiku sayang, apakah kau tahu bahwa Yai Plag dan Tan Ma, tukang kebun yang tinggal di belakang rumah kita telah beruntung sekali? Mereka telah mendapat hadiah pertama dari lotre.”

Tanpa berpaling aku menjawab dengan singkat:  “Ah, aku rasa itu memang sudah menjadi rezeki mereka.”

Istriku agak kecewa karena aku tidak begitu perhatian terhadap berita tersebut. Ia kemudian berkata: “Aku rasa itu bukan semata-mata rezeki, sayang.”

“Kalau bukan rezeki, lalu apa?” jawabku sambil terus membaca surat kabar.

“Duduk persoalannya sebenarnya begini.”, kata istriku sambil terus berusaha untuk menarik perhatianku. Orang mengatakan, bahwa ada seorang Bhikku bernama Tan Achan Pak Kow, baru datang dari daerah pegunungan di Utara, menginap di kuil Tan Maha, yaitu Bhante yang setiap hari kita bawakan makanan. Beliau telah meramalkan rezeki Yai Plag dan Tan Ma pada hari raya lalu. Diceritakan, bahwa Yai Plag dan Tan Ma pergi ke vihara dan mengeluh karena penghidupannya sengsara. Kemudian Tan Achan begitu baik hati untuk memeriksa nasib mereka dan meramalkan, bahwa dalam waktu satu minggu pasangan itu akan mendapat rezeki yang besar. Beliau juga memberi kepastian, bahwa mereka selanjutnya akan hidup beruntung. Hari ini genap seminggu dan pasangan itu benar-benar telah mendapat rezeki besar seperti yang telah diramalkan. Sungguh mengherankan sekali!”

Istriku memandang wajahku dan mencoba menerka apakah aku menaruh perhatian atau tidak terhadap ceritanya. Kutahu, bahwa ia ingin sekali meyakinkan aku agar percaya kepada ramalan nasib. Tetapi memang sudah menjadi watakku, untuk tidak mau percaya begitu saja tanpa ada bukti yang meyakinkan. Tetapi untuk tidak membuatnya kecewa aku lalu menjawab: “Aduh, tepat benar dan apakah kamu tahu apa yang akan dilakukannya sekarang? Mereka mungkin akan membeli sebuah rumah yang mungil dan hidup sebagai orang kaya.”

Istriku tidak menaruh perhatian terhadap kalimatku dan melanjutkan: “Sayang, aku ingin mengajakmu menjumpai Achan Pa Kow, karena akhir-akhir ini aku sering mendapat mimpi buruk.”

“Janganlah terlalu percaya kepada mimpi buruk, karena ini akan menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu. Kamu harus tahu, kalau kita banyak tidur kitapun akan banyak mimpi”, kataku sambil menghiburnya.
Tetapi, rupanya hal ini tidak berhasil, karena ia tetap menghendaki agar aku pergi menemui Tan Achan untuk meramalkan nasibku. Ketika aku melihat wajahnya yang agak sedih,  aku merasa kasihan sekali. Rupanya ia begitu khawatir. Biarpun dalam hati kecilku aku tidak begitu percaya, tetapi untuk menghiburnya aku akhirnya setuju untuk pergi menemui Tan Achan. Hal ini kulakukan untuk mengusir rasa kekhawatiran dari hati istriku.

Kemudian kami langsung berangkat menuju vihara di mana Tan Achan menginap yang kebetulan memang tidak jauh dari rumah kami.

Tiba di vihara kami diberi tahu, bahwa Tan Achan sedang keluar, yaitu dijemput oleh seorang yang tinggi kedudukannya. Tempat itu sudah penuh sesak oleh orang-orang yang juga sedang menunggu kedatangan Tan Achan. Mungkin hal ini disebabkan, karena ramalannya yang tepat telah tersiar luas di antara penduduk kota.

Sambil menunggu kedatangan Tan Achan, aku mecoba-coba untuk menggambarkan bagaimana rupa dan pribadi Tan Achan tersebut. Aku menggambarkan beliau sebagai orang yang sudah lanjut usianya, kalau berjalan harus memakai tongkat, tangannya memegang biji tasbih sedangkan mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa.

Kami duduk mengobrol dengan Tan Maha mengenai berbagai persoalan sambil menantikan kembalinya Tan Achan. Setelah Tan Achan tiba kembali, Tan Maha lalu memperkenalkan kami sebagai kenalan baik beliau dan kami lalu memberi hormat kepada Tan Achan dengan berlutut tiga kali. Aku merasa malu karena apa yang kugambarkan tentang beliau ternyata meleset sama sekali. Kenyataannya beliau orang yang masih muda dan gagah sedangkan wajahnya dihiasi dengan senyuman yang menyenangkan. Beliau kelihatannya sabar sekali dan kami merasa seolah-olah terkena getaran halus yang menyenangkan yang membuat kami merasa tenang dan bahagia. Hal ini memperkuat keyakinan kami terhadap diri beliau.

Tamu-tamu yang telah menunggu sebelum kami tiba, secara bergiliran menghampiri Tan Achan dan mohon diberi perlindungan dan lain sebagainya. Setelah ditolong keperluannya maka pulanglah mereka ke rumah masing-masing, sehingga akhirnya hanya kami berdua suami-istri yang berada di ruangan itu. Tanpa ragu-ragu istriku memohon kepada beliau untuk memeriksa  nasibku. Meskipun hal ini membuat hatiku sedikit tidak enak namun aku diam saja.

Tan Achan duduk bersimpuh, merapatkan kedua tangannya di dada dan menutup matanya untuk beberapa menit lamanya. Kemudian ia membuka matanya dan berkata: “Nyonya, suami nyonya sebenarnya tidak senang diperiksa nasibnya.”

Aku agak heran mendengar kata-kata itu, karena aku tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa aku kurang senang, tetapi Tan Achan secara tepat mengetahui perasaanku. Aku bertanya-tanya dalam diriku, alangkah luar biasa daya tangkap Tan Achan, sehingga dari mata, air muka atau salah satu sikapku beliau dapat mengetahui apa yang sedang kupikirkan.

Sewaktu aku sedang keheran-heranan, aku mendengar istriku berkata kembali: “Bhante, saya telah berketetapan hati untuk memohon dengan sangat agar nasib kami dapat diberitahukan dan kami harap jangan sampai dikecewakan.”

Tan Achan kembali menutup matanya untuk beberapa waktu lamanya dan setelah ia membuka matanya, ia nampaknya seperti orang yang bersusah hati. Dengan perlahan ia membalikkan badannya, sehingga dapat menatap mataku dengan tajam. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia berkata: “Aku sebenarnya tidak senang untuk memberitahukan jalan hidupmu, karena dalam satu dua tahun ini kamu akan mendapat kecelakaan yang mengerikan. Aku tidak akan memberitahukan kecelakaan apa, karena hal ini akan membuatmu gelisah. Sekarang segala sesuatunya berjalan baik, tetapi lain tahun dan tahun setelah itu kamu harus berhati-hati.”

“Bhante, mohon diberitahukan bagaimana akibat dari kecelakaan itu? Saya rasa saya cukup tabah mendengarnya”, tanyaku dengan perasaan ingin tahu.

Untuk beberapa waktu lamanya Tan Achan diam seperti sedang bermeditasi dan aku merasa seolah-olah beliau tidak dapat mengambil keputusan. Akhirnya ia berkata: “Kamu ditakdirkan untuk mati secara mengerikan sekali tanpa ada orang yang tahu.”

Kata-kata ini membuat seluruh tubuhku terasa gemetar, karena tidak kuduga akan mendengar kata-kata yang begitu menyeramkan.

Biasanya aku selalu tenang dan tidak takut kepada bahaya atau kecelakaan yang mungkin menimpa diriku. Setelah mendengar ramalan itu aku masih belum yakin bahwa apa yang diramalkan itu betul-betul akan terjadi. Meskipun aku tidak kaya raya, tetapi aku tidak kekurangan suatu apa, lagipula aku masih didampingi oleh seorang istri yang sangat mencintai dan kucintai.

Bagaimana aku dapat percaya, bahwa dalam waktu dekat aku akan menemui ajalku secara mengerikan dan tanpa ada yang tahu, padahal aku selalu didampingi istriku yang setia.

Waktu istriku mendengar kata-kata Tan Achan, ia mendadak menjadi gelisah dan kelihatan sedih sekali. Lalu ia bertanya: “Bhante, apakah ada jalan yang dapat mengubah nasib suamiku menjadi baik? Saya mohon dengan sangat supaya diberitahukan.”

Tan Achan lalu menjelaskan, bahwa upacara untuk mengubah nasib seseorang hanya dapat membantu agar orang merasa lebih baik, tetapi sebenarnya tidak dapat menolong apa-apa, sebab segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan karma (perbuatan) kita masing-masing.

Ada orang yang merasa heran mengapa ia tertimpa kemalangan, padahal menurut pemikirannya dalam kehidupan ini ia selalu berbuat baik. Hal ini disebabkan oleh perbuatan-perbuatannya yang buruk di kehidupan yang lampau yang sedang berbuah di kehidupan sekarang ini. Mereka harus membayar untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.

Jalan penghidupan bukanlah semata-mata merupakan jalan di dalam taman dengan pemandangan-pemandangan yang indah permai saja. Sebelum tiba di tempat tujuan, seringkali kita harus melalui tempat yang tidak menyenangkan dan sewaktu-waktu mungkin bertemu dengan hutan yang mengerikan. Beliau melanjutkan, bahwa untuk mengubah nasib sebenarnya tergantung dari diri kita sendiri. Kita harus berusaha untuk membebaskan diri dari perasaan benci, iri hati, loba dan pikiran yang selalu ingin mementingkan diri sendiri saja. Waktu menyatakan ini Tan Achan tertawa dan wajahnya kelihatan bersinar.

Setelah itu ia berkata kepada istriku: “mengenai nasib nyonya, dalam waktu enam bulan dari sekarang nyonya akan kehilangan seseorang dari lingkungan rumah tangga dan tidak lama setelah itu nyonya akan kehilangan barang-barang berharga.”

Aku mendengarkan semua ini dengan perasaan tidak menentu dan aku sama sekali tidak menduga, bahkan memimpikan pun tidak, bahwa apa yang diucapkan Tan Achan kelak benar-benar terbukti.

Kira-kira enam bulan setelah kami mengunjungi Tan Achan, supir kami yang sudah lama bekerja, tiba-tiba diserang penyakit dan tidak tertolong lagi. Kami berdua merasa sedih sekali dengan kepergiannya, karena ia supir yang jujur dan setia.

Setelah ia diperabukan, aku teringat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan. Ramalan yang pertama sekarang telah terbukti. Meskipun untuk pertama kalinya aku memperoleh bukti yang nyata, namun aku masih berpikir bahwa ini hanya kebetulan.

Tidak lama setelah supir tua kami meninggal dunia, kami mempekerjakan seorang supir baru yang masih muda usianya. Setelah bekerja selama beberapa bulan, istriku kehilangan perhiasan beserta petinya.

Kami yakin, bahwa pencurinya pastilah salah satu dari orang yang bekerja di rumah kami. Semua pelayan adalah pelayan tua yang sudah bekerja pada kami untuk waktu yang lama dan telah terbukti kejujurannya, kecuali supir kami yang baru mulai bekerja.

Istriku sama sekali tidak kelihatan kesal atas kehilangan barang-barang perhiasannya dan aku menarik kesimpulan, bahwa ia tahu cepat atau lambat ia pasti akan kecurian. Ia mengatakan, bahwa barang perhiasan dan emas adalah benda dunia yang dapat dicari gantinya. Lagipula ia telah diperingati oleh Tan Achan dan ini turut mempengaruhi ia tidak begitu memikirkan barang-barang tersebut. Tetapi aku merasa ia sebenarnya lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi atas diriku. Setelah dua peristiwa terjadi sesuai dengan apa yang telah diramalkan, istriku menjadi gelisah dan takut bahwa ramalan mengenai diriku kelak pun akan benar-benar terbukti.

Sekarang aku harus menyetir sendiri dan istriku tentu saja semakin merasa khawatir sehingga ia hanya memperbolehkan aku menyetir mobil kalau hal itu benar-benar perlu sekali.

Pada suatu hari ketika aku sedang mengendarai mobil di suatu jalan di Bangkok, dari jauh kulihat sebuah mobil hitam sedang berusaha menghidari tabrakan dengan sebuah becak, tetapi sangat menyedihkan sekali sebagai gantinya ia lalu menabrak seorang pejalan kaki.

Orang yang tertabrak itu sedang memikul barang dagangannya berupa kue-kue dan gula-gula, karena tertabrak maka kue-kue dan gula-gula itu terjatuh di jalan. Supir yang menabraknya tidak berhenti, sebaliknya ia malahan menancap gas untuk secepat mungkin menyingkir dari tempat tersebut. Pada saat itu memang masih belum begitu ramai dan waktu kecelakaan terjadi juga tidak ada mobil polisi, sehingga mobil tersebut dengan mudah menghilang. Ketika aku tiba di tempat terjadinya kecelakaan, aku menghentikan mobilku untuk melihat bagaimana keadaan orang yang tertabrak itu.

Si pedagang pikulan merupakan seorang wanita tua berumur lebih dari enam puluh tahun, dengan susah payah ia mencoba bangun. Melihat hal tersebut aku segera datang untuk membantunya. Untunglah orang tua tersebut tidak mendapat luka berat. Beberapa orang yang kebetulan lewat membantu mengumpulkan kue dan gula-gula yang telah berserakkan. Aku sendiri pun membantu untuk mengumpulkannya. Kasihan sekali wanita tua itu, sebab orang yang sudah demikian lanjut usia selayaknya berdiam di rumah atau menjaga cucunya dan bukan berjualan keliling dengan memikul keranjang yang berat.

“Nenek, apakah kau terluka?” aku bertanya.
“Untung tidak apa-apa tuan”, jawabnya. “Saya hanya sakit di sana-sini.”
“Dimana rumah nenek? Aku akan mengantarkanmu pulang ke rumah.”

Setelah ia memberitahukan alamat rumahnya, aku persilakan ia untuk naik ke mobil. Tetapi ia kelihatan ragu-ragu, sehingga aku perlu menaruh dahulu keranjang dan pikulannya ke dalam mobil. Wanita tua itu merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan dengan suara terharu ia berkata: “Oh, tuan sungguh baik sekali. Bukan tuan yang menabrak saya, tetapi justru tuanlah yang menolong saya, sedangkan orang yang menabrak saya telah kabur. Tetapi saya tidak marah kepada orang itu, karena kita tidak mungkin dapat menghindari nasib.”

Aku terperanjat ketika mendengar bahwa nasib tidak dapat diubah. Lalu aku teringat mengenai ramalan Tan Achan dan pada saat itu pula aku mengambil keputusan, bahwa sebelum aku meninggal dunia aku ingin melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak mungkin yang akan membuat orang-orang yang sedang menderita menjadi bahagia.

“Nenek, mengapa engkau sendiri yang harus pergi berdagang? Apakah engkau tidak mempunyai anak atau cucu?”
“Sebenarnya saya mempunyai anak dan cucu”, jawabnya
“Saya tinggal bersama-sama dengan menantu dan tiga orang cucu, tetapi pada waktu ini menantuku sedang sakit dan saya harus menggantikannya berdagang.”

Sebelum membawanya pulang ke rumah, aku terlebih dahulu singgah di sebuah klinik di mana aku meminta kepada dokter jaga yang kebetulan kenalan baikku, untuk memeriksa luka dari nenek itu. Setelah luka-lukanya diberi obat aku lalu menuju ke alamat rumah nenek tersebut.

Kuhentikan mobilku di muka sebuah lorong yang sempit dan membantunya keluar dari mobil. Orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya datang berkerumun dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakan mobilku yang telah menabraknya. Sebelum aku sempat menjawab, nenek itu memdahuluiku: “Oh, bukan tuan ini yang telah menabrakku, orang lain yang telah menabrakku, tetapi ia lantas melarikan kendaraannya. Sedangkan tuan ini begitu berbaik hati mau menolongku.”

Aku membuka pintu belakang mobil dan mengeluarkan barang dagangan si nenek yang segera disambut oleh orang banyak untuk kemudian dibawa ke rumah nenek tersebut, sedangkan yang lain lagi berjalan sambil menuntun si nenek.

Kuikuti mereka sampai di ujung lorong, di mana terlihat jembatan kecil yang terdiri dari dua helai papan melintasi sebuah selokan yang airnya hitam dan penuh sarang nyamuk.

Di kanan dan kiri lorong sejauh mata memandang hanya kotoran saja yang terlihat. Dalam hidupku belum pernah aku pergi ke tempat semacam itu.

Sekarang kami tiba di pondok si nenek dan ia mempersilakan aku masuk ke pondoknya. Aku demikian tenggelam dalam lamunanku memikirkan penderitaan orang-orang ini, sehingga aku tidak mendengar beberapa orang anak memberi hormat kepada nenek mereka.

Aku masuk ke dalam gubuk dan melihat sekelilingku. Tidak ada apa-apa yang dapat dikatakan berharga, sebab semuanya serba usang. Nenek itu menarik keluar sebuah peti bekas, membersihkannya dengan sehelai lap dan mempersilakan aku untuk duduk.

Aku lantas duduk dan tidak memikirkan apakah celanaku akan menjadi kotor atau tidak. Waktu aku sedang melihat-lihat bagian dalam gubuk itu terlihat seorang wanita muda yang sedang tertidur di balik kelambu dan tubuhnya ditutupi oleh selembar selimut yang sudah usang. Di sampingnya duduk dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, anak perempuan itu mengenakan baju dari bahan yang murah, sedangkan anak laki-laki itu tidak berpakaian. Nenek lalu memerintahkan anak laki-laki itu untuk berpakaian. Kemudian mereka bertiga diperintahkan untuk memberi hormat kepadaku.

Wanita muda yang sakit itu pun berusaha untuk bangun, tetapi aku mengatakan kepadanya agar terus saja tidur. Sebab dari wajahnya terlihat jelas, bahwa ia sedang diserang demam.

“Tuan, wanita itu menantuku”, kata si nenek. “Ia sudah tujuh hari sakit dan anak-anak itu adalah cucuku. Saya tidak tahu bagaimana harus memberi mereka makan. Karena itu saya berusaha untuk membeli gula-gula dan menjualnya kembali. Dari keuntungan yang tidak seberapa itu saya belikan beras dan sayur untuk kita makan bersama.”

Saya menanyakan apa pekerjaan anaknya. Ia menjawab: “Dulu anak saya bekerja sebagai supir, tetapi sejak beberapa bulan ini ia tidak pernah pulang ke rumah. Ada orang yang mengatakan, bahwa ia bekerja di daerah Bankapi, tetapi ada orang lain lagi mengatakan, bahwa ia sekarang sedang berada di penjara. Bagi kami, apakah ia pulang atau tidak sama saja, sebab ia tidak pernah memberi kami uang.”

Kemudian aku bertanya apakah menantunya sudah diperiksa oleh dokter. “Dari mana saya punya uang, tuan, untuk membawa ia ke dokter. Saya telah meramukan jamu agar panasnya turun. Apalagi yang dapat saya lakukan? Kami miskin sekali, sehingga sulit untuk dapat membeli makanan untuk sekian banyak mulut.”

Saya merasa kasihan sekali dan berniat untuk menolong keluarga tersebut. Kepada nenek itu aku mengatakan: “Nenek, sekarang aku akan panggilkan dokter. Engkau tidak perlu khawatir tentang biayanya. Aku tidak mengharapkan balas jasa apapun dari apa yang akan aku lakukan. Hal ini aku lakukan semata-mata karena terdorong oleh perasaan perikemanusiaan.” Kemudian aku selipkan beberapa lembar uang ke tangan si nenek sambil berkata: “Terimalah uang ini, nek dan pergilah membeli beberapa helai pakaian untuk cucumu dan makanan yang dapat menyegarkan menantumu.”

Aku lalu berdiri dan ingin meninggalkan tempat itu secepat mungkin, karena aku tidak ingin mendengar ucapan terima kasihnya. Tetapi nenek itu dengan air mata yang berlinang-linang meyusulku sambil menangis. Dengan tersendat-sendat ia berkata: “Oh, tuan! Sang Buddha akhirnya menaruh belas kasihan kepada saya. Saya begitu bahagia, sehingga saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Tuan telah memberikan saya uang demikian banyaknya, sehingga melebihi keuntungan berjualan gula-gula selama beberapa tahun lamanya. Hari ini saya benar-benar sudah putus asa, karena beras dan bahan bakar sudah habis sedangkan uang tidak ada. Sewa rumah sudah lama tidak saya bayarkan. Hampir saja saya tidak percaya tentang apa yang telah terjadi. Bagaikan impian yang indah saja.”

Sebenarnya uang yang kuberikan itu tidaklah begitu besar jumlahnya, tetapi bagi orang yang sangat miskin seperti nenek itu yang hampir tidak makan tentu saja jumlah itu merupakan jumlah yang sangat besar.

Aku menjemput seorang kawan yang menjadi dokter untuk memeriksa menantu nenek yang sakit itu. Setelah diperiksa kawanku mengatakan ia menderita penyakit malaria dan memberikan suntikan serta obat untuk dimakan. Kawanku agak heran, karena ia sama sekali tidak mengira bahwa aku akan membawanya ke gubuk seperti itu. Baru setelah aku memberikan penjelasan ia mengerti dan juga turut bergembira.

Hari itu aku pulang ke rumah dengan hati yang senang dan bahagia. Setelah aku ceritakan peristiwa di atas kepada istriku, iapun turut bergembira.

Setelah kejadian di atas, pernah beberapa kali aku bertamu ke rumah si nenek dan sedapat mungkin aku berusaha untuk menolong keluarga yang malang itu. Sekarang tampak banyak perubahan di rumah nenek itu. Cucu- cucunya sekarang memakai pakaian yang agak bersih dan rumahnya juga kelihatan lebih bersih dan terurus. Tentu saja hal tersebut membuat aku gembira dan bahagia, karena pertolonganku sedikit banyak telah membawa kebahagiaan pada keluarga miskin ini dan khususnya bagi ketiga cucu nenek itu.

Sekarang si nenek dapat berdiam di rumah untuk mengasuh cucu-cucunya sedangkan menantunya berjualan gula-gula.

Pada suatu hari setelah aku selesai makan malam, seorang pelayan masuk dan memberi tahu, bahwa ada seorang tamu ingin berjumpa denganku. Aku menjawab agar tamu tersebut dipersilahkan masuk. Ketika tamu itu masuk aku lantas mengenalnya yaitu kawanku sewaktu masih sama-sama bersekolah.

Dari kawan-kawan lain telah kudengar, bahwa ia sekarang tinggal di Utara dan memiliki sebuah perusahaan besar. Kedatangannya membuat aku gembira sekali.

Setelah kami melepaskan perasaan rindu masing-masing, aku lalu memandang wajahnya dengan lebih teliti. Pada wajahnya jelas dapat terlihat tanda-tanda penderitaan yang hebat dan kedua matanya guram, sehingga mudah dapat diketahui bahwa ia sedang sakit atau sedang ditimpa kemalangan. Ia kelihatannya gelisah sekali, seolah-olah ia berada dalam bahaya besar. Aku ajak ia ke kamar kerja, dimana kami dapat berbincang-bincang tanpa dapat didengar oleh orang lain.

Setelah kami berada berdua aku lantas bertanya kepadanya: “Aku rasa engkau sedang memikirkan sesuatu. Harap engkau beritahukan saja kepadaku kalau sekiranya ada sesuatu yang dapat aku bantu.”

Ketika mendengar tawaran ini matanya agak lebih bercahaya dan tanpa ragu-ragu lagi ia berkata: “Dugaanmu memang tepat sekali. Aku sekarang sedang dalam kesulitan besar. Kira-kira dua ratus orang pekerja dan pegawaiku sedang menantikan pertolongan. Andaikata aku gagal maka keluarganya mungkin akan kelaparan. Semua uangku sudah habis dan aku sekarang tidak mengekspor barang-barang lagi. Telah sepuluh hari lamanya aku berada di Bangkok, namun sampai sekarang aku masih belum berhasil untuk mendapatkan pinjaman uang untuk melanjutkan usahaku. Aku telah menemui beberapa orang teman karibku yang waktu dulu pernah aku tolong dan sekarang keadaan mereka telah membaik. Aku meminta pertolongan mereka, namun dengan mengajukan berbagai alasan mereka semua menolak untuk menolongku. Sekarang engkau adalah orang terakhir yang akan aku hubungi. Biarpun kita sudah lama tidak pernah berhubungan semenjak kita keluar sekolah, tetapi aku memberanikan diri datang kemari untuk memohon pertolonganmu.

“Bukan hanya untuk diriku sendiri saja, tetapi terlebih untuk dua ratus keluarga yang mungkin akan kelaparan.”

Setelah mendengar ceritanya aku lalu mengatakan, bahwa aku mengerti keadaannya dan merasa bersimpati sekali. Selanjutnya kukatakan, bahwa tentu saja aku ingin menolongnya kalau saja hal ini tidak berada di luar kemampuanku. Kawanku lalu memberikan angka pasti yang akan cukup untuk dapat keluar dari kesulitan ini. Angka itu merupakan jumlah yang besar, yang dalam keadaan biasa tidak mungkin akan kuberikan. Tetapi sekarang aku telah bertekad untuk sebanyak mungkin melakukan perbuatan baik sebelum aku meninggalkan dunia yang fana ini. Lagipula aku telah mendengar dari kawan-kawan yang lain, bahwa kawanku ini termasuk orang yang jujur dan baik hati, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi aku mengambil keputusan untuk memberikan pinjaman yang diminta. Aku selalu percaya kepada pepatah kuno yang berbunyi: “Uang tidak dapat dibawa mati.” Oleh karena itu alangkah baiknya apabila uang itu dapat aku gunakan untuk tujuan-tujuan baik sewaktu aku masih hidup.

Wajah kawanku bersinar kegirangan ketika mendengar, bahwa aku bersedia memberikan pinjaman sejumlah yang diperlukan. “Oh, engkau telah menolong jiwaku”, katanya dengan suara tersendat-sendat karena perasan haru. “Besok pagi aku akan datang kembali dengan membawa pengacaraku, untuk kemudian kita dapat menandatangani surat perjanjian peminjaman.”

Kepadanya kukatakan, bahwa hal itu sama sekali tidak perlu. Aku lalu menarik laci meja tulis, mengeluarkan buku cheque dan menulis sejumlah uang yang diperlukan. Ia kelihatan terperanjat sekali, seakan-akan melihat iblis di siang bolong ketika aku mengulurkan cheque yang telah aku tanda tangani. Ia menerimanya dan memandangi cheque tersebut seperti orang yang lupa ingatan dan kemudian memelukku. Ia menangis tersedu-sedu dan air matanya berderai. Akupun turut menangis karenanya.

“Sekarang banyak jiwa akan tertolong”, katanya setelah agak tenang. “Ketika aku berkunjung kemari, sebenarnya aku tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan yang demikian baiknya, sebab semua kawan-kawanku yang lain yang keadaannya sekarang sudah baik, telah menolak untuk menolongku. Untuk itu aku merasa sangat kecewa. Aku dapat diumpamakan sebagai orang yang hampir tenggelam dan akan menjangkau apa saja yang dapat aku pegang. Kini suatu mukjizat telah terjadi engkau telah menolong jiwaku dan juga telah memberikan harapan untuk melanjutkan perjuanganku. Sebenarnya aku mengira bahwa hari ini merupakan hari penghabisan bagiku.”

“Mengapa kau katakan demikian?” tanyaku dengan heran.

“Engkau adalah harapanku yang terakhir”, jawabnya. “Kalau sekiranya aku gagal di sini, maka aku akan kembali ke hotel dan akan membunuh diri.” Untuk membuktikan kata-katanya, ia mengeluarkan sepucuk pistol Colt 6,35 mm dari dalam tasnya bersama tiga pucuk surat. Surat pertama ditujukan kepada polisi setempat, surat kedua kepada ibunya dan surat ketiga kepada istrinya. Dalam suratnya kepada polisi ia menulis, bahwa ia telah melakukan bunuh diri. Dalam surat yang ditujukan kepada ibunya dan istrinya ia menyampaikan salam perpisahan dan beberapa pesan yang singkat.

Bulu badanku berdiri waktu aku membaca surat-surat tersebut.  Aku gembira sekali, bahwa aku terlah memutuskan untuk menolongnya.

Setelah kawanku pergi, aku ceritakan peristiwa ini kepada istriku. Ia pun turut gembira atas kejadian tersebut. waktu mendengar bagaimana kawanku menyatakan terima kasihnya ia pun turut menangis.

 Tak lama setelah kejadian di atas, Thailand ikut terlibat dalam kancah peperangan. Harga barang-barang melonjak tinggi dan demikian pula harga obat-obatan, terutama obat-obatan yang mahal harganya, sehingga banyak orang yang meninggal karena penyakit radang paru-paru.

Apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan tidak pernah kulupakan dan aku tahu, bahwa ajalku sudah dekat. Meskipun demikian aku tenang-tenang saja. Aku tidak memperoleh anak dari istriku, walaupun kami telah menikah lebih dari sepuluh tahun lamanya. Pernah istriku mengusulkan agar aku mengambil istri kedua, tetapi usulan tersebut dengan tegas kutolak. Aku sangat menghargai usulannya, tetapi aku lebih senang untuk membiarkan saja keadaan ini seperti yang dikehendaki oleh nasib.

Namun demikian aku belum dapat melihat tanda-tanda adanya kemungkinan, bahwa aku akan meninggal secara mengerikan dan tanpa ada orang yang tahu, karena aku cukup dikenal orang.

Selain itu Tan Achan juga mengatakan, bahwa upacara-upacara untuk mengubah nasib seseorang hanyalah untuk membantu supaya perasaannya lebih enak, tetapi sebenarnya tidak dapat menolong apa-apa. Tan Achan juga mengatakan, tidak seorang pun selain diri kita sendiri yang dapat menyingkirkan ketamakan kita dari keinginan yang  tidak ada habis-habisnya. Aku setuju sekali dengan hal tersebut, karena aku sendiri telah mendapat kepuasan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata saat menolong orang yang sedang ditimpa kemalangan.

Sejak aku diramalkan nasibku, aku senantiasa berusaha untuk selalu melakukan perbuatan baik. Meskipun aku tahu, bahwa perbuatan-perbuatan baikku mungkin baru akan berakibat dalam waktu yang lama sekali, tetapi aku tahu pula, bahwa perbuatan jahat akan berakibat lebih cepat. Sebenarnya aku tidak mengharapkan balas jasa apa-apa dari perbuatan baikku.
Pada suatu malam ketika perang di Timur jauh berlangsung kurang lebih satu tahun lamanya, pesawat sekutu untuk pertama kalinya menjatuhkan bom di kota Bangkok. Beberapa bom jatuh di Jalan Yawaradj dan di gedung kedutaan Jerman, sehingga menimbulkan rasa cemas di kalangan penduduk kota Bangkok yang belum berpengalaman dalam hal serangan-serangan udara. Diantara mereka ada yang mengungsi ke desa-desa ada yang pindah ke pinggir kota untuk sedapat mungkin berada jauh dari pusat kota dan tempat-tempat penting.

Aku menjadi khawatir mengenai diri nenek Yai Chome, menantu dan cucu-cucunya. Aku bermaksud untuk mengungsikan mereka ke tempat yang lebih aman kalau mereka menyetujuinya. Memang aku tahu beberapa tempat yang baik. Untuk keperluan ini aku pergi menemuinya dan membicarakan hal tersebut.

“Tetapi tuan sendiri mau ke mana?” tanya si nenek dengan penuh perasaan ingin tahu.

Aku katakan kepadanya, bahwa aku tidak akan mengungsi, karena kami tidak mempunyai anak yang harus dipikirkan. Lalu nenek Yai Chome menjawab, bahwa ia juga tidak ingin mengungsi kemana-mana. Aku mencoba membujuknya demi kepentingan cucu-cucunya. Aku juga mengatakan bahwa mengenai tempat tinggal ia tak usah pikirkan, karena dengan mudah aku dapat mencarikannya.

“Tuan sudah pernah menolong jiwa kami sekeluarga. Kalau tuan tidak mengungsi, apakah kami harus takut untuk tetap tinggal di sini. Tidak tuan, kami tidak takut akan bahaya. Kalau tuan tidak  pergi, kamipun akan berdiam terus di rumah ini”, kata nenek itu.

Pada keesokan harinya, tepat pada hari Waisak terjadilah peristiwa yang paling mengesankan dalam hidupku. Hari itu aku berada di daerah Pahurat untuk keperluan dagang. Tiba-tiba terdengar suara sirene tanda serangan udara. Ini berarti, bahwa pesawat-pesawat sekutu sedang mendekati kota Bangkok dan akan mengebomnya pada waktu siang hari. Tidak lama lagi terdengarlah raungan pesawat-pesawat terbang di atas kota dan mulai menjatuhkan bom mereka. Tempat-tempat perlindungan seketika diserbu dan menjadi penuh sesak, karena pada waktu itu bioskop baru saja selesai dengan pertunjukan pagi dan orang-orang yang menonton berlari-lari kesana-kemari mencari perlindungan.

Terdengar bom jatuh di dekat tempatku berada. Hal ini menyebabkan orang-orang menjadi lebih panik. Cepat-cepat aku lewati gedung bioskop dengan maksud untuk mencari tempat yang aman di Vihara. Di depanku aku melihat seorang gadis kecil di tengah jalan sedang menangis-nangis mencari ibunya. Tetapi tidak seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya, karena pada waktu itu keadaan benar-benar sedang kacau balau. Semua orang hanya berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja. Timbullah rasa kasihan dalam hatiku melihat gadis kecil tersebut yang kukira berumur tiga tahun. Aku berlari ke arahnya untuk membawanya ke salah satu lubang perlindungan. Pada waktu itu aku mendengar bom-bom meletus makin dekat dan makin dekat.

Waktu aku hampir tiba di tempat ia berdiri, tiba-tiba anak itu terjatuh. Aku segera membungkuk untuk mengangkatnya bangun. Tepat pada saat itulah sebuah bom meledak di dekat tempat kami berada. Pecahannya telah memapas bagian atas topi yang sedang kupakai, sehingga rambutku dapat terlihat dan kepalaku terasa dingin. Karena tekanan udara yang disebabkan oleh ledakan bom tersebut hampir-hampir  saja aku jatuh menimpa si anak gadis. Saat itu aku benar-benar berada di antara hidup dan mati. Kalau saja sekiranya pada waktu itu gadis kecil tersebut tidak terjatuh dan aku tidak membungkuk untuk mengangkatnya, maka pasti tamatlah sudah riwayatku. Tentu cerita ini tidak akan sampai kepada saudara-saudara sekalian.

Aku peluk anak itu dan lari ke salah satu tempat perlindungan. Ketika aku melihat sekelilingku, aku melihat banyak orang yang terluka dan berdarah, sedangkan banyak anggota badan manusia yang berserakan di sana-sini. Alangkah beruntungnya, bahwa aku beserta anak gadis itu masih hidup. Ketika aku melihat wajah anak gadis itu agak cemas, sebab ia tidak menangis lagi dan matanya memandang ke depat dengan tidak berkedip. Semula kukira, bahwa ia telah mati karena kaget. Untung saja perkiraanku keliru, sebab sebenarnya ia sedang memandiangi wajahku yang asing sekali baginya. Dengan memeluk anak gadis itu aku menuju ke Wat Shutat dan ledakan-ledakan bom lambat laun berhenti.

Aku memasuki Vihara yang ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang mencari perlindungan. Di antara mereka aku melihat seorang wanita yang berumur kira-kira tigapuluh tahun, sedang menangis. Di dekatnya berada tiga orang anak gadis dan seorang anak laki-laki. Mereka sedang sibuk membicarakan seorang anak yang hilang, karena mereka menduga, bahwa anak tersebut dibawa oleh orang yang lain ketika mereka berpisah mencari tempat perlindungan.

Setelah mereka sekarang berkumpul kembali dan tidak melihat anak itu, mereka saling salah-menyalahkan satu sama lain. Ketika wanita muda itu melihatku, ia lari mendekatiku lalu menarik anak tadi dari pelukanku. Anak itu lalu dipeluk erat-erat dan diciumi sambil menangis tersedu-sedu karena kebahagian.

“Oh, anakku sayang.” Dan ketika mereka sedang tertawa-tawa karena kegirangan, aku mencari jalan untuk keluar dari Vihara melalui pintu samping.  Sebab aku menduga mereka pasti akan mencari aku untuk menghaturkan rasa terima kasih. Aku sudah merasa puas melihat keluarga anak itu bergembira karena gadis kecil itu telah selamat.

Sampai hari ini pun aku belum dapat memastikan, apakah benar aku yang menolong anak itu ataukah bukan sebaliknya, anak itulah yang telah menolong jiwaku. Kalau sekiranya pada waktu itu aku terkena pecahan bom dan meninggal, siapakah yang akan dapat mengetahui dan mengenalnya kembali? Karena beberapa mayat yang bergelimang di sekitar tempat itu tidak lagi dapat dikenal. Kalau demikian halnya, siapakah yang dapat memberitahukan kepada istriku? Mungkin potongan-potongan badan manusia itu dikumpulkan menjadi satu, lalau ditanam sebagai orang yang tidak dikenal. Ketika membayangkan hal ini, tubuhku gemetar dan aku teringat kepada apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan, yaitu aku akan meninggal dengan cara yang mengerikan dan tidak ada yang mengetahuinya. Tidak pernah kuduga, bahwa sebenarnya aku harus meninggal dengan cara yang demikian mengerikan. Tetapi untunglah peristiwa itu sekarang sudah berlalu. Aku hanya berdoa agar jangan mengalami peristiwa semacam itu lagi di kemudian hari. Ketika aku mengangkat gadis kecil itu dari tengah jalan, aku tidak memikirkan bahaya. Pada saat itu pikiranku hanyalah untuk menolong anak itu, padahal orang lain berlari-lari mencari tempat perlindungan. Waktu itu tidak ada seorangpun yang memperhatikan gadis itu. Aku telah terlepas dari maut karena telah mempertaruhkan nyawaku untuk menolong orang lain. Aku sangat gembira, bahwa perbuatan baik yang kulakukan dapat berbuah dengan demikian cepatnya.

Setelah hari yang tidak dapat kulupakan itu serangan udara semakin lama semakin hebat. Pada suatu pagi seorang Bhikku datang mengunjungi rumahku dengan jubah kuningnya yang kelihatan anggun sekali. Beiau memberitahukan, bahwa Beliau datang dari Utara. Selagi lewat di tempat ini Beliau singgah untuk menjengukku, karena Beliau telah mendengar tentang diriku dari kawanku yang tinggal di Utara.

Kawan itu ternyata yang pernah kutolong beberapa waktu yang lalu ketika ia sedang dalam kesulitan keuangan.

Aku mengundang Bhikku itu untuk bermalam di rumahku dan menyediakan makanan untuk sarapan pagi dan tengah hari. Istriku membersihkan kamar tidur di ruangan atas untuk dipakai Beliau, sedangkan kami sendiri pindah tidur di kamar bawah. Pada malam harinya kami mengobrol ke barat dan ke timur sampai pada suatu ketika istriku memohon agar Beliau mau melihat nasib kami. Istriku ingin mengetahui, apakah aku sekarang sudah terbebas dari bahaya atau belum dan apakah yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.

“Sebenarnya aku tidak suka meramalkan nasib”, jawab Beliau.

“Aku harus mengatakan hal-hal yang benar, sebab seorang Bhikkhu tidak boleh berdusta. Kamu telah memohon agar aku mau melihat nasib dari suamimu dan sekarang aku terima permohonanmu itu. Kamu harus selalu ingat, bahwa kita, mau atau tidak mau, harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita dari kehidupan ini dan juga dari kehidupan yang lampau.” Kemudian Beliau menutup matanya dan bermeditasi. Aku dan istriku saling pandang, kira-kira setengah jam kemudian Bhikkhu itu membuka matanya. Sambil tersenyum ia berkata: “Wah, sebenarnya suamimu sudah harus meninggal pada hari Waisak yang lalu. Tetapi untunglah hari naas itu telah berlalu. Sungguh suatu keajaiban. Lalu kupusatkan pikiranku untuk mengetahui apa yang telah menyelamatkan jiwa suamimu, dan jawabannya ialah perbuatan-perbuatannya yang mulia yang menjadi penolongnya. Mulai dari sekarang kamu berdua akan menghadapi masa yang bahagia.”

Sesudah itu kami masih bercakap-cakap untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian mempersilahkan Beliau untuk beristirahat di ruangan atas. Ketika hendak menaiki tangga, Beliau berpesan: “Malam nanti, apapun juga yang akan terjadi yang membuatmu cemas, kuharap dengan sangat supaya kamu tenang-tenang saja dan jangan mengganggu aku. Dan sekarang selamat malam”

Malam itu wajah istriku kelihatan cerah dan gembira sekali; hal yang tidak pernah kulihat sejak beberapa tahun yang lalu.

Kesunyian malam itu diganggu dengan suara sirene. Aku dan istriku terbangun dan ia meminta aku untuk membangunkan Bhikkhu yang sedang tertidur di kamar atas. Ketika itu aku teringat pesannya untuk jangan diganggu, meski apapun yang terjadi.

Pesawat-pesawat sekutu telah beterbangan di atas kota Bangkok dan mulai menjatuhkan bom sehingga seluruh kota menjadi bergetar hebat akibat ledakannya. Aku memerintahkan agar semua orang masuk ke lubang perlindungan yang digali di halaman muka rumah kami. Kami mendengar pesawat melayang-layang di atas kepala kami dan terdengarlah ledakan yang satu disusul dengan ledakan yang lain. Lubang perlindungan kami bergetar seperti sebuah perahu yang sedang dilanda gelombang besar. Kami harus bediam di lubang perlindungan itu hingga pagi hari. Ketika aku keluar, kukira rumahku telah menjadi tumpukan puing, tetapi alangkah gembiranya ketika aku melihat, bahwa segala sesuatunya masih seperti sediakala.

Kami berdua mengantuk sekali, sehingga langsung saja masuk ke kamar tidur tanpa memperhatikan kepada orang-orang yang masih sibuk membicarakan serangan udara pada kemarin malam. Pagi itu aku bangun agak siang dan teringat, bahwa kami mempunyai tamu yang belum disediakan makanan pagi.

Ketika aku keluar dari kamar, aku mendengar dari istriku, bahwa Bhikkhu tersebut sudah meninggalkan rumah kami, sewaktu aku masih tidur nyenyak. Tukang masak kami masih berjumpa dengan Beliau pada pagi hari. Sebelum pergi Beliau berpesan supaya jangan membangunkan kami. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa mulai sekarang kami akan hidup bahagia.

Ketika istriku keluar dari kamar tidur, waktu itu Beliau sedang keluar pintu pekarangan, sehingga istriku hanya dapat melihat jubah kuningnya saja. Istriku berlari-lari ke pintu pekarangan untuk mengundang Beliau makan pagi, tetapi ketika ia sampai di muka pintu pekarangan, Bhikkhu itu sudah tidak kelihatan lagi.

Pagi itu aku menemukan dua buah bom yang tidak meledak, terbenam dalam tanah di kiri dan kanan rumah. Untunglah, bahwa bom itu tidak mengenai semen, sebab kalau demikian halnya pastilah ia akan meledak dan seluruh rumah tentu akan musnah.

Aku mengirim orang untuk memberitahukan petugas yang berwenang. Tidak lama kemudian regu penjinak bom datang untuk menyingkirkan kedua bom tersebut.
Setelah itu tidak terjadi lagi hal-hal yang penting sampai tentara Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu.

Beberapa hari kemudian aku pergi mengunjungi Yai Chome, si nenek. Ketika aku masuk ke rumahnya, aku terkejut melihat Cherd yang pernah bekerja di rumahku sebagai supir untuk beberapa bulan lamanya. Kemudian ia telah menghilang secara mendadak dan diduga sebagai orang yang mencuri perhiasan istriku.

“Oh, apa kabar, Cherd?” tanyaku ketika hendak duduk. Tiba-tiba ia berlutut di depanku dan aku tambah heran ketika Yai Chome berkata kepadaku: “Tuan, inilah Cherd, anakku. Ia telah di penjara untuk beberapa waktu lamanya dan aku telah memberitahukan kepadanya, bahwa tuanlah bintang penolong kami. Tanpa pertolongan tuan, kami tak mungkin dapat hidup seperti sekarang ini. Mulai dari sekarang anak saya berjanji, bahwa ia akan bertobat dan mulai dengan hidup yang baru.”

“selamat, selamat Cherd. Kamu tahu, bahwa kita semua harus menderita dan membayar untuk perbuatan-perbuatan kita yang tidak baik. Aku gembira, bahwa engkau telah bertobat dan mulai hari ini akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna,” kataku menghibur. Ia menangis tersedu-sedu, sebab ia tidak pernah bermimpi bahwa akulah yang menjadi penolong ibu dan keluarganya.

“Besok aku ingin datang mengunjungi tuan dan nyonya di rumah”, katanya, “sebab aku ingin membuat suatu pengakuan”.

“Ah, tidak usalah kamu datang,” kataku, “aku yakin istriku akan turut gembira mendapat kabar tentang dirimu.”

Setelah bercakap-cakap untuk beberapa saat lamanya, akupun lalu pulang. Keesokan harinya ketika kami sedang makan, seorang pelayan memberitahukan, bahwa Cherd telah datang dan ingin bertemu dengan kami. Aku  menyuruh Cherd masuk. Waktu masuk ia membawa sebuah bungkusan yang kelihatannya berat. Kemudian ia berlutut di hadapanku dan di hadapan istriku.

“Tuan,” katanya, “Ibu telah memberitahukan kepadaku, bahwa tuan telah menunjang keluarga kami dan ia pun tiap malam berdoa di hadapan patung Sang Buddha untuk memohon agar tuan diberkahi banyak keberuntungan, umur panjang dan dijauhi dari mara bahaya. Tuan telah membuat aku malu untuk semua perbuatan-perbuatanku di masa yang lalu. Aku sekarang telah sadar, bahwa aku telah mengambil jalan yang salah. Sayalah sebenarnya orang yang mencuri perhiasan-perhiasan nyonya dan sekarang aku datang untuk mengembalikannya lagi.  Peti yang aku curi aku tanam di taman, karena takut ketahuan. Aku kira tuan pasti akan memanggil polisi dan menangkapku. Pada waktu itu datanglah kawan-kawanku yang membujuk aku untuk turut melakukan perampokan. Aku ikut mereka pergi ke salah satu rumah, tetapi pemiliknya telah mengetahui terlebih dahulu sehingga kami dijebak oleh polisi dan akhirnya tertangkap. Saya di bawa ke depan pengadilan dan dihukum penjara. Karena saya membuat pengakuan lengkap sebelum di bawa ke depan pengadilan, maka saya mendapat keringanan hukuman.

Waktu keluar dari penjara, saya langsung pulang ke rumah dan mengira, bahwa keluarga saya berada dalam keadaan sulit. Tetapi apa yang kulihat justru sebaliknya. Ibu, istri dan anak-anakku semua berada dalam keadaan yang baik dan ini semua berkat kebaikan hati tuan. Karena itu saya akan selalu ingat budi kebaikan tuan. Saya menggali kembali peti yang telah saya tanam dan dengan ini saya mengembalikannya kepada tuan dan nyonya. Mohon ampun atas perbuatan saya yang terkutuk ini.”

Kemudian Cherd membuka bungkusan itu dan kami mengenali peti perhiasan kami yang masih penuh lumpur. Istriku membukanya dengan kunci yang masih disimpannya dan setelah diperiksa tidak ada sebuah barangpun yang hilang. Kemudian ia mengambil sebuah kalung dan dihadiahkan kepada Cherd untuk istrinya. Cherd terperanjat sekali untuk kebaikan istriku dan kembali ia berlutut untuk menyatakan terima kasihnya. Dan apa yang terjadi ini meyakinkan aku, bahwa Cherd sekarang telah berubah. Tetapi aku tahu pula, bahwa seseorang dapat berubah pikiran apabila keadaannya sangat memaksa. Oleh karena itu aku mencarikan pekerjaan untuk Cherd, sehingga ia dapat memperoleh penghasilan yang cukup untuk memelihara keluarganya.

Tidak lama kemudian aku menerima sebuah surat dari kawanku yang dulu hampir saja bunuh diri andaikata pada waktu itu aku tidak menolongnya. Ia memberi kabar, bahwa perusahaannya sekarang telah maju kembali dan ia telah memperoleh keuntungan yang besar. Ia bermaksud untuk membawa serta keluarganya ke Bangkok untuk bertemu dengan aku. Suratnya aku balas dengan menulis, bahwa ia tak usah repot-repot untuk membawa serta istri dan anak-anaknya, hanya semata-mata untuk mengucapkan terima kasih kepadaku tentang apa yang pernah kulakukan. Juga aku minta agar ia tak usah melakukan perjalanan itu kalau tidak diperlukan sekali, karena aku belum membutuhkan uang tersebut.

Sepuluh hari kemudian kawanku tiba di Bangkok bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Mereka membawa hio (dupa), lilin, mangkuk dan daun akasia. Aku kira, bahwa salah seorang dari anaknya ingin ditahbiskan menjadi Bhikkhu, tetapi sebenarnya mereka datang untuk “dum-hua”.

Pada mulanya aku tidak tahu arti dari “dum-hua” ini, karena kata-kata ini jarang sekali digunakan di Bangkok. Kemudian aku baru tahu, bahwa artinya ialah menyiramkan air suci pada telapak tangan orang tua yang dihormati.

Setelah upacara selesai, aku memberkahi mereka. Kemudian kawanku memberikan aku selembar cheque dengan jumlah yang melebihi jumlah yang telah dipinjamnya dahulu. Aku menolaknya. Ia memohon agar aku mau menerimanya, karena menurut pendapatnya nilai uang pada waktu itu lebih tinggi dari pada waktu sekarang. Lagipula, karena petolonganku jiwanya dan juga perusahaannya telah tertolong.

Aku menjelaskan kembali kepadanya, bahwa aku menolongnya tanpa ada pengharapan balas jasa apapun. Lagipula aku tidak mempunyai anak dan aku tidak dapat membawa uang kalau sekiranya kelak aku meninggal dunia.

Aku mempertahankan pendapatku, bahwa aku tidak mau mengambil uang yang lebih itu dan hanya mau menerima uang sebanyak yang dahulu kupinjamkan.

Ia menulis cheque yang baru dan memujiku di hadapan istri dan anak-anaknya disertai pesan untuk selalu ingat dan berterima kasih kepadaku selama mereka masih hidup.
Aku merasa bahagia sekali dapat menolong mereka sesama manusia dan kebahagiaan ini tidak dapat dibeli dengan uang, meskipun bagaimana besar jumlah uang yang kita miliki.

Tidak pernah kulupa, bahwa pada hakekatnya segala sesuatu dalam hidup ini tergantung pada diri kita sendiri, bagaimana tertulis dalam Kitab Suci Samyutta Nikaya:

“Sesuai denga benih yang telah ditabur
Begitulah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan
Pembuat kejahatan akan memetik kejahantan pula
Taburlah olehmu biji-biji benih dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya.”

Sekarang aku dapat menghadapi maut dengan wajah tersenyum.
  
 Sumber : Perbuatan Baik (Kusala Kamma)
Alihbahasa : Pandita S. Widyadharma
Sunting by: Vimala Sari
Edit by : Hogan Kusnadi