Dahulu kala Raja Mahapatapa berkuasa di Benares. Pada waktu itu, Bodhisattva masuk ke kandungan Ratu Canda Devi. Setelah lahir, ia diberi nama Pangeran Dhammapala. Pada suatu hari ketika Pangeran Dhammapala berusia tujuh bulan, ratu sedang memandikan ia dan dengan lembut dan memakaikan pakaian. Kemudian, dengan penuh kasih ratu memeluk dan menggendong anaknya itu. Ketika ratu sedang memeluk bayinya dengan penuh kasih sayang, Raja Mahapatapa kebetulan memasuki kamar. Ratu yang sangat mencintai bayinya ini tidak segera bangkit menyambut raja untuk menyapa dan menghormatinya, walaupun ia melihat sang raja. Raja Mahapatapa berpikir, "Sekarang saja ratu sudah sangat bangga terhadap putranya. Akan seperti apa nanti setelah putranya dewasa? Dia tidak akan memperhatikan aku lagi. Anak ini sebaiknya dilenyapkan saja!" Segera raja berbalik dengan marah dan kembali ke singgasananya. Kemudian raja memanggil penjagalnya. "Pergilah ke kamar ratu dan bawa kemari pangeran kecil Dhammapala."
Ratu menyadari bahwa raja marah kepadanya. Air matanya jatuh bercucuran. Dengan tersedu-sedu bayi kecil itu ditaruhnya di pangkuannya. Namun air matanya tidak meluluhkan hati penjagal itu. Perintah raja tetap harus dijalankan. Dia merenggut Dhammapala dari pangkuan sang ratu dan membawanya ke hadapan raja. Dengan cemas Ratu Canda Devi berlari mengikuti penjagal itu ke ruang singgasana. Penjagal itu meletakkan Dhammapala di papan penjagalan di hadapan raja. Raja segera meneriakkan perintah untuk memotong kedua tangan bayi Dhammapala. Dengan menjatuhkan diri ke atas lututnya, Ratu Canda Devi memohon kepada raja untuk memotong tangannya saja. "Pangeran Dhammapala tidaklah bersalah. Sepenuhnya sayalah yang bersalah." Namun walaupun ia telah memohon dan menangis tersengal-sengal kehabisan nafas, sekali lagi raja memerintahkan agar tangan Pangeran Dhammapala dipotong. Penjagal tersebut memotong tangan Dhammapala yang baru berusia tujuh bulan dengan kapaknya. Karena kapak tersebut sangat tajam, kedua tangan kecil itu terjatuh ke lantai bagaikan tunas bambu muda. Namun bayi kecil Bodhisattva tersebut tidak menjadi marah atau menangis. Melainkan dengan hati yang penuh Khanti dan Metta, ia dengan sabar menahan rasa sakit itu.
Sang ibu dengan cepat berlutut. Dengan hati-hati tangan-tangan kecil itu diambilnya kembali untuk ditaruh di pangkuannya. Sementara itu, ratu menangis dan melolong dengan pilu. Selanjutnya raja memerintahkan agar kedua kaki bayi Pangeran Dhammapala dipotong. Sekali lagi Ratu Canda Devi memohon dengan sia-sia. "Anak itu tidak bersalah." Tetap saja kapak dijatuhkan, dan kedua kaki kecil Pangeran Dhammapala putus. Tidak puas melihat kedua kaki yang dipotong itu, raja memerintahkan agar kepala Pangeran Dhammapala dipenggal. Dalam keputus-asaan, sang ibu sekali lagi memohon kepada raja, tetapi raja mengabaikan semua permohonannya. Diancam dengan hukuman berat, maka penjagal tersebut dengan terpaksa melaksanakan perintah sang raja dan memenggal kepala Pangeran Dhammapala. Sekali pun kepala itu sudah dipenggal dan Pangeran Dhammapala sudah meninggal, kemarahan raja masih belum lenyap. Dia memerintahkan penjagal tersebut untuk melemparkan tubuh Pangeran Dhammapala kecil itu ke udara dan memutar-mutar tubuh kecil tersebut dengan tepian belati seolah-olah karangan bunga.
Ketika menyaksikan peristiwa yang kejam ini, Raju Canda Devi memukul-mukul dadanya dan meraung-raung, dan akhirnya jatuh mati di tempat itu juga. Segera setelah ratu meninggal, Raja Mahapatapa jatuh dari singgasananya karena bumi terbuka dan menelannya masuk ke dalam neraka Avaci.
Selama tindakan-tindakan rendah yang penuh kedengkian ini, si kecil Dhammapala tidak menjadi marah. Bahkan pada saat kematiannya pun, ia meninggal dengan sabar tanpa kebencian di pikirannya.
Sumber : Serba-Serbi Metta (Kebaikan Penuh Kasih)
Karya : Sayadaw U Indaka
Dapat kita sadari bahwa pada saat kemarahan melanda kita, kita tidak akan dapat berpikir dengan jernih dan baik. Ada baiknya saat kita sedang dilanda kemarahan dan yang bekerja pada diri kita hanyalah emosi tanpa terkendali pikiran kita, lebih baik kita tak mengatakan apapun karena terkadang saat sedang marah apa yang kita katakan dapat amat sangat kita sesali dikemudian hari.