Selasa, 28 Juli 2015

Kemarahan, Ego, Cemburu, Duka dan Cinta

Kemarahan
Tak dapat 'ku pungkiri aku adalah seorang anak manusia, sungguh-sungguh anak manusia sejati yang selalu saja diliputi oleh rasaku sendiri. Dimana terkadang rasa yang bergejolak dalam hati ini lebih kuat dibandingkan aku yang berada di luar dirinya (di luar sang rasa). Entah dari mana kekuatan itu bahkan kurasa kekuatanku pun berasal darinya, berasal dari rasa yang tercipta di dalam diri ini.

Bagaimana aku pada akhirnya mampu untuk mengendalikan rasaku sendiri, disaat rasa itu berubah menjadi mengerikan, disaat aku mengetahui apabila aku terus mengikuti permainan dari perasaan ini maka hanya akan ada satu akhir yang 'ku tahu, yaitu akhir dimana diriku yang akan terluka (kembali).

Kemarahan
Seperti kataku aku masih saja diliputi segala rasa itu, baik dalam kesan yang positif atupun negatif, namun rasa itu masih dan selalu ada meliputi diriku. Tak terkecuali dengan rasa marah. Aku selalu meyakinkan diri bahwa kemarahan tak akan membawa bahagia, bahwa kemarahan ibarat bara api yang sedang menyala dan begitu membara dengan sempurna.

Tentu kita semua yang memiliki pemikiran yang berjalan dengan sempurna tak akan mau memegang bara api tersebut dengan tangan hampa. Tapi tidak begitu saat kita hanya diliputi emosi tanpa kontrol dari pikiran yang berjalan dengan baik. Terkadang yang ada dalam pikiran dan hati ini hanya satu hal saja, yaitu harus membalas orang yang membuatku merasakan perasaan sakit ini, harus membalas orang yang menyakitiku, harus membuat orang yang menyakitiku juga tersakiti. Disaat-saat itulah kita akan melakukan apapun untuk menyakitinya. Tak peduli pada bara api yang sedang menyala dan membara, hanya berpikiran untuk melemparinya dengan api-api yang menyakitkan itu tanpa pemikiran panjang dan tentu saja tanpa adanya kebijaksanaan.

Ouchh..

Betapa menyakitkannya sebuah rasa marah, betapa melukainya dari sebuah rasa yang disebut kemarahan. Disaat aku hanya berpikir untuk membalasnya, membalas orang yang menyakitiku. Aku melupakan satu hal, aku melupakan bahwa amarah itu sudah menyakitiku terlebih dahulu.

Rabu, 17 Juni 2015

Monyet, Perangkap, dan Tangan yang Mengepal

Aku mungkin menulis kisah ini tidak dengan hati yang sepenuhnya bahagia, aku menulis dengan sedikit kesedihan yang bahkan tak dapat aku mengerti dan aku artikan sendiri. Ada rasa yang mengganjal di dalam hati ini yang tak dapat aku jelaskan pula. Hanya saja aku merasa semua akan lebih baik dan dapat kembali menjadi baik seandainya aku menulis. Ada satu hal yang salah dan kurang dalam hal ini yaitu perasaanku sendiri yang tak dapat aku mengerti sehingga aku hanya menulis, tak mengerti apa yang ingin aku ungkapkan dalam tulisan ini. (Jadi maaf bagi para pembaca bila apa yang saya ungkapkan menjadi berputar-putar dan membingungkan).

Hanya saja ada sebuah kisah yang bagiku sangatlah menarik bagi kita semua yang sedang terjebak dalam sebuah perangkap yang mungkin dibuat oleh seseorang atau oleh suatu keadaan tertentu, tapi tahukah kita bahwa kita dapat terjebak dalam perangkap itu bukan sepenuhnya salah sang pembuat perangkap tersebut.

Seperti kisah penangkap monyet yang membuat perangkap dari botol-botol yang telah diisi makanan atau dapat pula dari batok-batok buah kelapa yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para monyet dapat memasukkan tanggannya kedalam jebakan yang manusia buat karena terpancing oleh makanan yang ada di dalam botol atau batok kelapa tersebut. Sehingga para monyet tersebut akan mengambil makanan-makanan yang ada di dalam jebakan dengan tangan mengepal (mengenggam) dan oleh sebab itu para monyet tersebut tidak dapat menarik tangan mereka keluar.
Namun tahukah para monyet yang terjebak tersebut, mereka tidak sesungguhnya terjebak dalam sebuah perangkap, ada cara dimana mereka dapat melepaskannya. Tahukah para pembaca sekalian bagaimana mereka dapat terlepas dari perangkap tersebut?


Minggu, 01 Maret 2015

Syukur dan penghargaan


Terima kasih Buddha untuk sekian banyak cinta yang telah hadir disekelilingku, terima kasih untuk kedua orang tua yang telah mengasihiku hingga saat ini, orang tuaku mungkin bukan yang terbaik di dunia ini, tetapi mereka adalah yang terbaik di sepanjang kehidupanku.

Entah sekarang akan jadi seperti apa jika bukan karena bimbingan mereka, meski sering kali aku lupa dan menganggap semua yang mereka katakan mengganggu dan terlalu ikut campur dalam kehidupanku, tapi bukankah harus aku ingat bahwa kehidupan ini berasal dari mereka, meski bukan milik mereka.

Karena mungkin mereka juga lupa bahwa kehidupan ini memang dari mereka tapi bukan milik mereka. Dengan segala informasi dan perubahan dalam kehidupan ini, sudah terlalu banyak paham yang berubah, banyak anak muda yang berpikir bahwa orang tua mereka mengganggu, bahwa mereka sudah dewasa dan ingin hidup sendiri, tapi bagaimanapun meski kehidupan kita ini bukan milik kedua orang tua kita, tetap saja kehidupan ini berasal dari mana? Kita harus ingat.

Karena bagaimanapun, meski zaman sudah semaju apapun, kata terima kasih tetaplah akan ada dalam dunia ini, akan tetap dikenal dalam kehidupan ini, meski mungkin tidak semua orang akan mengingat untuk berterima kasih pada orang lain. Tetapi rasa syukur itu tak akan pernah lenyap kata terima kasih itu tak akan pernah lenyap. Bukankah sesuatu yang terlupakan tidak berarti hilang? Meski mungkin suatu saat nanti akan semakin banyak orang yang tidak mau mengucapakan terima kasih bukan berarti kata terima kasih itu akan lenyap.

Begitu pula dengan hubungan kita dan orang tua kita, bagaimanapun juga zaman maju nantinya tidak akan mungkin robot bisa membuat kehidupan baru di dunia ini, tak akan mungkin teknologi menciptakan ketulusan kasih dari orang tua yang menyayangi anaknya. Tak mungkin teknologi menggantikan kehangatan pelukan seorang ibu, tak mungkin teknologi menggantikan peluh seorang ayah yang mencari nafkah.

Maka tak boleh pula kita lupa dari mana sumber kehidupan kita ini berasal.

Meski secanggih apapun teknologi saat ini, yang bisa membuat orang yang jauh terasa dekat, tetapi secara nyata kehadiran tersebut hanyalah visualisasi dari dirinya, tetap saja apa yang ada itu hanya alat yang dingin dan tidak membawa kehangatan, bagaimanapun juga teknologi saat ini tidak bisa menggantikan perasaan bahagia saat berkumpul dengan orang-orang yang kita kasihi, bagaimanpun juga teknologi saat ini hanya dapat mengobati rindu karena raga yang berjauhan.

Oleh sebab itu, jagalah semua sumber kehangatan di sekitarmu, jangan sampai semua terlupakan hanya karena benda dingin yang selalu kau genggam dengan khayalan bahwa visualisasi yang menyerang perasaanmu itu nyata, bagaimanapun sebuah teknologi memvisualisasikan orang yang terkasih nan jauh disana ia tak dapat menampilkan seseorang yang sudah tiada untuk dapat berkomunikasi lagi denganmu, bagaimanapun teknologi memvisualisasikannya, ia akan tetap berbentuk sama seperti gadget bukan manusia.

Bagaimanapun saya bukan manusia purba yang tidak mengikuti perkembangan zaman, hanya saja saya berharap bahwa kita tidak terlena oleh visualisai yang ditampilkan oleh gadget kita hingga kita lupa bahwa orang-orang yang ada disamping kita itu adalah nyata. Jangan sampai semua waktu yang berharga itu hilang berlalu dengan penyesalan karena belum menikmati masa-masa bersama.

Minggu, 13 Juli 2014

Dear Myself

Sudah lama sekali rasanya tidak menulis mengenai apa yang aku rasakan, terlalu sibuk? mungkin iya terlalu sibuk mencari-cari alasan untuk tidak menulis. Rasanya terlalu lama tidak menulis bahkan jari-jari tangan pun terasa kaku untuk mengetik kata demi kata ini. Bahkan hatipun terasa kaku untuk menuliskan apa yang ingin ditulis.

Mungkin aku berubah terlalu jauh, mungkin aku terdiam terlalu lama. Mungkin..
Mungkin aku terlena terlalu tinggi, aku hanya berharap dan tidak menginginkan perubahan menjadi lebih malas dari ini. Tidak berharap memiliki perasaan aneh yang tidak dapat aku mengerti lebih lama dari ini.

Entah mengapa rasanya setelah beberapa waktu ini berlalu, aku merasa semakin kehilangan arah dan tak mengerti apa yang sesungguhnya aku inginkan, bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan. Aku tidak tahu apa setelah semua ini, semua akan berjalan menjadi lebih baik, aku mungkin merasa takut akan apa yang akan terjadi esok hari, tapi mengapa, mengapa aku merasa takut? aku tidak mencoba mencarinya jauh kedalam diriku sendiri selama ini, aku hanya terus membiarkan diriku larut dalam rasa takut tersebut, hingga membuat aku kehilangan arah dan menjalani hidup ini bagaikan zombie yang hidup segan mati tak bisa. 

Hanya melalui semua aktivitas yang menjadi kewajibanku, tapi kehilangan semangat dalam hidup ini, seakan-akan kehidupan ini tak lagi berharga, lucu rasanya kini aku kembali mencoba mencari jati diruku yang mulai luntur dan hilang dimakan waktu yang sudah begitu lama aku habiskan untuk larut dalam segala perasaan yang mempermainkan kehidupanku hingga saat ini.

Apa kau berpikir aku menyesalinya?
yaa, tentu saja aku menyesalinya, mengapa aku begitu bodoh untuk tidak menyadarinya lebih cepat, tapi aku akan lebih menyesalinya jika saat ini aku masih tetap larut dalam segala perasaan yang mengombang-ambingkan diriku beberapa waktu ini. Aku merasa bahwa kini saatnya bangkit, aku harus bisa bangkit. Menjadi apapun aku nantinya hanya tergantung bagaimana aku menjalani hariku HARI INI.

Aku tidak berharap apapun saat mengetikan artikel ini, tidak sama sekali, bahkan diawal aku memulai mengetik judul dari artikel ini aku masih tidak dapat mengetahui apa yang akan aku tulis di sini. Aku hanya berharap bahwa dengan aku mengepost tulisan ini aku dapat mengingat apa yang aku sampaikan hari ini. Agar suatu hari nanti saat perasaanku kembali terombang-ambing aku dapat menemukan artikel ini kembali untuk mengingatkan aku bahwa aku pernah mersakan hal yang sama dulu dan aku berhasil bangkit, maka sekarang pun aku pasti bisa kembali bangkit.

Aku hanya berharap jika ada salah satu pembaca yang membaca artikel ini disaat ia merasa tidak mampu dan kehilangan arah menyadari bahwa ia tidak sendirian, setiap orang pasti pernah mersakan saat dimana ia merasa tidak mampu untuk berjalan, bahkan tidak mampu untuk merangkak. Aku hanya berharap saat ia membaca artikel ini, sedikit perasaan bersemangat kembali mucul pada dirinya, agar bisa sedikit membakar kembali semangat yang sedang dilanda badai. Aku tidak berharap banyak bahwa pembaca yang sedang murung tersebut dapat langsung kembali bersemangat saat membaca artikel ini, karena motivator terbaik ada dalam diri kita masing-masing.

Bukan aku yang mampu menyemangatimu, bukan dia, bukan juga dia, bukan siapa-siapa tapi HANYA DIRIMU SENDIRI. Motivator sehebat apapun akan kalah dengan motivator yang ada dalam diri kita sendiri. 

Mari kawan untuk kembali bangkit menjadi pribadi yang lebih baik lagi bersama-sama.

Karena saat karma buruk sudah berbuah, menangis dan menyesal pun percuma.


"Sendiri yang makan, sendiri yang kenyang"
"Kita adalah penyelamat diri kita sendiri"

Sekian tulisan yang dapat saya hasilkan hari ini, semoga bermanfaat. :)

Bangkitlah sekarang, keluarlah dari zona nyaman yang melenakan dirimu selama ini, aku tahu itu sakit, tapi tak akan ada emas yang indah jika tidak ditempa oleh besi dan panasnya bara api, untuk menjadi indah kau perlu merasakan sakit, rasakan sakitnya terus rasakan sakitnya hingga perasaan sakit itu tak lagi kau rasakan. 

Aku tahu kamu takut, demikian pula aku, aku tak tahu apa yang akan aku hadapi kedepannya, aku tak yakin apakah aku mampu, tapi aku sadari terus berada dalam ketakutan ini tak akan menghasilkan apapun, bahkan hanya membuat aku semakin mundur, sedikit demi sedikit mundur dari kemampuan yang tadinya aku miliki, dan hanya ada satu cara untuk mengenyahkan perasaan takut tersebut, yaitu:

BELAJAR

Perbanyak ilmu yang kau miliki, hingga kau yakin bahwa kau mampu untuk menghadapi persaingan di dunia yang kejam ini.
Tapi ingatlah satu hal, jangan biarkan kesombongan menghambatmu, karena pikiran yang sombong dan mersasa mampu akan menghambatmu dari rasa ingin tahu akan hal-hal baru di dunia ini.

Aku bukanlah apa-apa, aku bukanlah orang yang ingin mengajarimu dengan kecongkakan, sungguh bukan itu yang aku harapkan, aku hanya sedang membangkitkan semangat diriku yang sudah lama hilang, aku hanya sedang berusaha membangunkannya kembali, aku hanya ingin bersama-sama dengannya menjalani hidup yang menakutkan ini, meyakinkannya bahwa ia tak sendiri bahwa ia tak perlu takut, dan aku hanya berpikir jikalau apa yang aku katakan benar, mengapa tidak aku bagikan dengan orang lain, mungkin saja ada diatara kalian yang juga merasa takut dalam mengahadapi kehidupan ini seperti aku saat ini.

Salam hangat dari sahabatmu yang sedang berusaha membangkitkan semangatnya,
salam bagi saudara-saudara yang sedang putus asa, takut, dan tidak bersemangat.

Jumat, 31 Januari 2014

Happy Chinese New Year 2565/2014


Happy Chinese New Year 2565/2014 to all my friends far and near may the year of the horse brings you abundantly good wealth and health.

Wishing you a happy and prosperous Chinese New Year

The Year of Horse

- 31 Januari 2014 -

Itu Tidak Tetap, Itu Tidak Pasti

Ketika berfokus pada Dhamma di sini dan saat kini. Di sinilah kita bisa melepas segala sesuatu dan memecahkan kesulitan-kesulitan kita. Sekarang juga, pada saat ini, karena momen kini mengandung sebab maupun hasilnya. Saat kini adalah buah masa lalu. Saat kini juga sebab bagi masa depan. Kita tengah duduk sekarang ini adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan pada masa lalu, dan apa yang kita lakukan kini akan menjadi sebab bagi apa yang kita alami pada masa depan. Jadi Buddha mengajarkan kita untuk membuang masa lalu dan membuang masa depan. Megatakan “membuang” bukanlah berarti kita membuang apa pun, namun berarti kita tetap di dalam satu titik saat kini, di mana masa lalu dan masa depan menyatu. Jadi kata “membuang” ini hanyalah cara bicara; apa yang ingin kita lakukan adalah sadar akan saat kini, di mana sebab dan hasil ditemukan. Kita melihat saat kini dan melihat pemunculan dan pelenyapan terus menerus, muncul dan berlalu.
Saya terus mengatakan hal ini, namun orang-orang tidak benar-benar memasukkannya ke dalam hati: fenomena muncul pada saat kini, dan mereka tidak stabil atau bisa diandalkan. Orang-orang tidak terlalu melihat ke dalam hal ini. Apa pun yang muncul, saya akan mengatakan, “Oh! Ini tidak tetap,” atau, “Ini tidak pasti.” Ini sangat sederhana. Apa pun yang terjadi adalah tidak tetap dan tidak pasti. Namun karena tidak melihat dan memahami hal ini, kita menjadi bingung dan tertekan. Dalam yang tidak tetap, kita melihat ketetapan. Dalam yang tidak pasti, kita melihat kepastian. Saya menjelaskannya, namun orang-orang tidak memahaminya, dan mereka terus saja menjalani hidup mereka dalam pengejaran segala sesuatu tanpa akhir.
Sungguh, jika Anda mencapai titik damai, Anda akan berada di sini, di tempat yang saya bicarakan, titik ini pada saat kini. Apa pun yang muncul, bentuk kebahagiaan atau penderitaan apa pun, Anda akan melihatnya sebagai tidak pasti. Ketidakpastian inilah Buddha itu sendiri, karena ketidakpastian adalah Dhamma, dan Dhamma adalah Buddha. Tapi kebanyakan orang mempercayai Buddha dan Dhamma sebagai sesuatu yang berada di luar diri mereka.
Ketika batin mulai menyadari bahwa segala hal tanpa kecuali alami bersifat tidak pasti, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh cengkeraman dan kelekatan mulai berkurang dan pudar. Jika kita memahami hal ini, batin mulai melepas dan meletakkan segala sesuatu, tidak mencengkeram segala sesuatu, dan kelekatan bisa tiba di akhirnya. Ketika kelekatan berakhir, kita pasti mencapai Dhamma; tak ada sesuatu pun yang melampaui ini.
Ketika kita bermeditasi, inilah yang ingin kita realisasi. Kita ingin melihat ketidaktetapan, ketidak-puasan, dan ketiadadirian, dan ini dimulai dengan melihat ketidakpastian. Ketika kita melihatnya dengan sempurna dan jernih, maka kita bisa melepas. Ketika kita mengalami kebahagiaan, kita melihat bahwa “ini tidak pasti”. Ketika kita mengalami duka, kita melihat bahwa “ini tidak pasti”. Kita mendapat gagasan bahwa akan baik untuk pergi ke suatu tempat, dan kita menyadari, “itu tidak pasti.” Kita pikir akan baik untuk tetap berada di mana kita berada, dan kita menyadari, “ini pun tidak pasti.” Kita melihat bahwa segala hal mutlak tidak pasti, dan kita akan hidup dengan nyaman. Kemudian kita bisa tinggal di mana kita berada dan merasa nyaman, atau kita bisa pergi ke tempat lain dan merasa nyaman.
Keraguan akan berakhir seperti ini. Mereka akan berakhir dengan metode praktik pada saat kini ini. Tidak perlu resah mengenai masa lalu, karena itu telah berlalu. Apa pun yang terjadi pada masa lalu telah terjadi dan lenyap pada masa lalu, dan sekarang sudah selesai. Kita bisa melepas kekhawatiran mengenai masa depan, karena apa pun yang akan terjadi pada masa depan akan terjadi dan lenyap pada masa depan.
Ketika umat perumah-tangga datang memberikan persembahan ke sini, mereka melafal, “Pada akhirnya, semoga kita mencapai Nibbana pada masa depan.” Kapan atau di mana itu, mereka tidak benar-benar tahu. Nibbana jadinya nun jauh. Mereka tidak mengatakan, “Di sini saat kini.” Mereka megatakan “Suatu saat pada masa depan.” Selalu suatu tempat, suatu saat “di sana”. Bukan “di sini”. Hanya “di sana”. Dalam kehidupan berikutnya, juga akan dibilang “di sana”, dan dalam kehidupan-kehidupan mendatang juga akan dibilang “di sana”. Jadi mereka tidak akan pernah sampai, karena Nibbana selalu “di sana”.
Ini seperti orang-orang yang mengundang seorang bhikkhu tua untuk menerima dana makanan di desa dan mengatakan, “Tolong Bhante pergi menyambut dana ke desa sana.” Kemudian ketika ia telah berjalan ke desa yang jauh dari sana, penduduknya berkata, “Tolong Bhante menerima dana makanan di sebelah sana.” Ia terus berajlan, namun ke mana pun ia tiba, mereka memberitahunya, “Tolong Bhante menerima dana makanan di sana.” Orang tua malang ini tidak akan pernah mendapatkan sesuap makanan; ia hanya akan terus berjalan “ke sana,” dan “di sebelah sana”, dan tidak menerima apa pun.
Kita cenderung seperti ini. Kita tidak pernah mengatakan “di sini saat kini”. Kenapa tidak? Apa ada yang salah dengan saat kini? Ini karena kita masih terlibat dengan segala sesuatu. Kita masih bergembira dalam keduniawian dan tidak berani melepasnya. Jadi kita lebih suka membiarkannya menjadi “suatu ketika pada masa depan”. Persis seperti orang yang menyuruh bhikkhu tua tadi menerima dana makanan: “Tolong Bhante pergi ke sebelah sana untuk menerima dana makanan.” Jadi ia terus mencari tempat “di sana”, di mana ia bisa menemukan dana makanan untuk menyokong dirinya, namun tidak pernah “di sini”, dan ia tidak pernah menerima makanan apa pun pada akhirnya.
Mari kita bicarakan mengenai di sini saat kini, dalam kekinian. Praktik benar-benar bisa dilakukan dalam kekinian; kita tidak perlu melihat suatu ketika pada masa depan. Alih-alih menjadi resah mengenai apa saja, kita cukup melihat Dhamma di sini saat kini dan melihat ketidakpastian dan ketidaktetapan. Maka Batin Buddha, Yang Mengetahui, muncul. Hal ini dikembangkan melalui pengetahuan ini, bahwa segala hal adalah tidak tetap.
Disinilah pengetahuan diperoleh. Samadhi, keheningan batin, dapat dikembangkan di sini. Ada kedamaian dalam hidup di hutan: ada ketenangan ketika mata tidak melihat dan telinga tidak mendengar. Batin ditenangkan dari melihat dan mendengar. Namun batin tidak ditenangkan dari kotoran batin. Kotoran batin masih di sana, namun pada saat itu mereka tidak muncul. Itu seperti air dengan endapan di dalamnya: ketika air diam, air jernih, namun ketika sesuatu mengusiknya, kotoran naik dan mengeruhkannya. Anda pun sama dalam praktik Anda. Ketika Anda melihat bentuk, mendengar suara, memiliki pengalaman tak menyenangkan, atau merasa sensasi tubuh yang tak menyenangkan, maka Anda terusik. Jika semua ini tidak terjadi, Anda nyaman; Adna nyaman dengan kotoran batin.
Anda mungkin ingin mendapatkan sesuatu, seperti sebuah kamera. Jika Anda mendapatkannya, Anda merasa bahagia. Sebelum Anda mendapatkannya, Anda tidak akan puas, dan ketika akhirnya Anda bisa mendapatkannya, ada berbagai kesenangan dalam hal itu. Kemudian, jika kamera itu dicuri, Anda akan kesal. Kesenangan Anda telah hilang. Jadi sebelum Anda bisa mendapatkan apa yang Anda inginkan, ada ketidakbahagiaan; ketika Anda mendapatkannya, ada kebahagiaan; dan kemudian ketika itu hilang, ada ketidakbahagiaan lagi.
Samadhi yang datang dari hidup dalam lingkungan yang damai adalah seperti itu. Ada kebahagiaan dalam merasa senang oleh keadaan yang damai, namun kebahagiaan hanya sampai sejauh itu, karena batin berada di bawah pegaruh nafsu akan sesuatu yang bisa berubah. Setelah sejenak, kebahagiaan akan pergi, dan ketidakbahagiaan akan mengambil tempatnya – persis seperti ketika pencuri mendapatkan kamera Anda. Inilah kedamaian samadhi, kedamaian sementara dari meditasi keheningan.
Kita harus menilik ke dalam hal ini sedikit lebih mendalam. Apa pun yang kita miliki akan menjadi sumber duka ketika kita kehilangannya jika kita tidak sadar akan ketidaktetapannya. Jika kita menyadarinya, maka kita bisa menggunakan segala sesuatu tanpa terbebani oleh mereka.
Anda mungkin ingin menjalankan bisnis, dan Anda perlu mendapat pinjaman dari bank. Jika Anda tidak bisa mendapatkannya sekalipun dengan segenap upaya, Anda akan mendapatkan duka. Akhirnya bank mungkin setuju meminjamkan uang, dan Anda gembira. Kegembiraan Anda tidak akan bertahan selama berjam-jam – namun bunganya akan mulai menumpuk. Setelah beberapa lama, itu akan menjadi kekhawatiran Anda: apa pun yang Anda lakukan, bahkan meski cuma duduk di kursi santai Anda, mereka akan membebani Anda dengan bunga. Jadi ada duka karena ini. Sebelumnya, ada duka karena tidak mampu menemukan pinjaman. Ketika Anda dapat pinjaman, tampaknya Anda sudah mantap dan segalanya akan baik, tapi kemudian Anda mulai harus memikirkan mengenai bunga pinjaman, dan duka pun kembali datang.
Maka itu, Buddha mengajarkan untuk melihat ke saat kini dan melihat ketidaktetapan badan dan batin, dari semua fenomena tatkala mereka muncul dan lenyap, tanpa mencengkerami satu pun. Jika kita bisa melakukan ini, kita akan mengalami damai. Kedamaian ini mucul karena melepas; pelepasan muncul karena kebijaksanaan, kebijaksanaan yang datang dari pengamatan akan ketidaktetapan, duka, dan ketiadadirian, kebenaran pengalaman, dan menyaksikan kebenaran ini dalam batin kita sendiri.
Dengan berlatih seperti ini, kita terus menerus melihat dengan jernih dalam batin kita sendiri. Fenomena muncul dan lenyap. Lenyap, ada pemunculan baru; muncul, ada lenyap. Jika kita membentuk kelekatan terhadap apa yang terjadi, duka akan mucul tepat di sana. Jika kita melepas, duka tidak akan muncul. Kita melihat ini dalam batin kita sendiri.
Kita bisa mendapatkan kepastian sejati mengenai Dhamma ketika bermeditasi seperti ini, dan kita bisa sampai ke titik di mana segala yang harus kita lakukan adalah melihat batin kita pada saat kini. Kita melepas masa lalu dan masa depan, melihat pada masa kini, dan kita melihat ketiga ciri secara sinambung dan dalam segala hal. Berjalan, ada ketidaktetapan. Berdiri, ada ketidaktetapan. Duduk, ada ketidaktetapan. Itulah kebenaran hakiki dalam segala sesuatu. Jika Anda mencari kepastian atau ketatapan, Anda hanya bisa menemukannya dalam segala sesuatu dengan cara ini dan tidak mengubahnya ke cara yang lainnya. Ketika pandangan Anda menjadi matang seperti ini, Anda akan berada dalam damai.
Atau apa Anda pikir bahwa dengan pergi bermeditasi ke puncak gunung sunyi Anda akan memiliki kedamaian? Anda mungkin mendapat kedamaian sebentar. Namun ketika kerasnya kehidupan di sana mulai mengejar Anda, Anda akan mulai merasa lapar dan lelah. Lalu Anda turun gunung dan menuju  kota. Banyak makanan enak dan kenyamanan di sana. Namun kemudian Anda akan mulai berpikir bahwa itu mengganggu latihan Anda – lebih baik pergi ke suatu tempat terpencil.
Sunggguh, orang yang menderita ketika hidup sendirian adalah dungu. Orang yang menderita ketika hidup dengan orang lain adalah dungu. Itu seperti kotoran ayam: jika Anda membawanya ketika Anda sendirian, kotoran itu bau. Jika Anda membawanya ketika Anda di antara orang lain, kotoran itu juga bau. Anda membawa benda busuk bersama Anda.
Jika kita pintar, maka kita bisa hidup bersama banyak orang dan merasa bahwa itu bukanlah lingkungan yang damai, dan itu benar sampai batas tertentu; hidup bersama banyak orang bisa menjadi sebab untuk memperoleh kebijaksanaan. Saya mengembangkan sebagian kebijaksanaan dari memiliki banyak murid. Perumah-tangga datang dalam jumlah banyak, banyak bhikkhu datang ingin menjadi murid, dan tiap orang punya pandangan dan sifat masing-masing. Saya mengalami banyak hal yang berbeda, dan saya harus mampu menanagani situasi. Kapasitas kesabaran dan ketahanan saya menjadi kuat. Sampai ke batas saya bisa menanggungnya, dan saya masih mampu tetap berlatih. Pada saat itu semua pengalaman saya menjadi bermakna. Namun jika kita tidak mengerti dengan benar, tidak ada pemecahan. Hidup sendirian akan baik – sampai kita muak dengannya. Kemudian kita akan pikir lebih baik hidup dalam kelompok. Mendapat makanan sederhana tampaknya baik, dan kemudian mungkin mendapat banyak makanan tampaknya adalah jalan yang benar. Akan terus seperti ini kalau kita tidak bisa memahami batin kita sekali untuk selamanya.
Melihat bahwa segalanya tak dapat diandalkan, kita akan menyikapi semua situasi kekurangan atau kelimpahan sebagai tidak pasti dan tidak akan memiliki kelekatan terhadap mereka. Kita menaruh perhatian terhadap momen kini, di mana pun tubuh ini kebetulan berada. Lalu, berdiam akan jadi oke. Berpergian akan jadi oke. Semuanya akan jadi oke, karena kita fokus pada praktik mengenali segala sesuatu sebagaimana adanya.
Orang-orang bilang, “Ajahn Chah hanya bicara mengenai “tidak pasti”.” Mereka muak mendengar ini, dan merkea kabur dari saya. “Kami pergi mendengarkan Ajahn Chah mengajar, tapi semua yang ia katakan hanya mengenai “tidak pasti”.” Mereka tak tahan lagi mendengar hal kuno yang sama melulu, maka mereka pergi. Saya kira mereka akan pergi mencari suatu tempat di mana segalanya akan pasti. Namun mereka kembali.


Sumber : Ini Pun Akan Berlalu - Ajahn Chah

Sabtu, 17 Agustus 2013

Perbuatan Baik Pasti Berguna - Memulangkan Dompet, Membawa Pahala yang Tak Terduga


Apa yang Anda lakukan apabila menemukan dompet orang lain? Bila didalamnya terdapat identitas, kita bisa menghubungi pemilik dompet, atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib.

Dan hal apa yang kita lakukan apabila kehilangan dompet, kita pasti datang lagi ke tempat yang sekiranya tadi kita lewati, berharap mendapatkan kembali dompet kita yang hilang.

Dikisahkan pada dinasti Ming dimasa Jiajing, di kota Jiangsu Wujiang ada seorang pria yang bernama Si Fu dan istrinya. Pasangan suami-istri ini mempunyai dua mesin pembuat kain sutra, sehingga mereka mengandalkan mesin ini sebagai pendapatan mereka. 

Pada suatu hari Si Fu dalam perjalanan pulang setelah menjual sutra, ditengah perjalanan dia menemukan sebuah dompet kecil yang didalamnya hanya ada sedikit uang. Didalam hatinya dia berpikir, “Uang ini pasti milik pengusaha kecil dan seluruh keluarganya pasti mengandalkan uang ini, jika uang ini hilang pasti mereka akan menderita.”

Oleh sebab itu dia berhenti ditempat ini untuk menunggu pemiliknya datang mencari, setelah seharian menunggu dan menahan lapar akhirnya pemiliknya datang. Pemiliknya adalah seorang pemuda, setelah menyelidiki dan memastikan dompet tersebut miliknya Si Fu mengembalikan kepadanya. 

Pemuda ini sangat berterima kasih, sehingga dia mengambil separuh dari uang tersebut untuk diberikan kepada Si Fu sebagai imbalan. Tapi Si Fu menolak menerima uang itu, pemuda itu lalu memberi buah dan mengundang Si Fu untuk makan, tetapi Si Fu tetap menolaknya. Setelah mengucapkan terima kasih, tanpa menyebut namanya Si Fu pun pergi. 

Setelah sampai di rumah dia menceritakan hal ini kepada istrinya, istrinya berkata, “Sungguh suatu perbuatan terpuji.” Suami istri ini bukan bahagia mendapatkan dompet itu, tapi merasa bergembira karena dapat mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya.

Sejak saat itu, Si Fu setiap tahun memelihara ulat sutra selalu mendapatkan untung, tetapi pada suatu tahun di kota mereka tidak ada daun murbei untuk makan ulat sutranya. Beberapa penduduk kota mereka berunding untuk naik perahu, menyeberangi danau ke kota lain untuk membeli daun murbei. 

Ketika mereka sedang berada dalam perahu dan belum sampai ke tempat tujuan, hari telah mulai gelap. Mereka lalu mencari pantai terdekat untuk berhenti dan memasak makan malam. Si Fu naik ke daratan untuk mencari kayu bakar, dalam perjalanannya dia bertemu dengan pemuda yang dahulu kehilangan dompetnya. 

Pemuda yang bernama Zhu En itu memanggil Si Fu, mereka berdua lalu mengobrol. Si Fu berkata, “Karena kami kekurangan daun Murbei, maka harus pergi mencari ke kota lain.” 

Zhu En berkata, “Daun murbei di taman saya sangat banyak, tidak habis dipakai sendiri, jika Anda mau ambil saja, murbei ini sepertinya memang tumbuh untuk Anda. Dan pertemuan kita berdua juga memang sudah takdir.” Mereka berdua akhirnya seperti dua bersaudara.

Istri Zhu En menyediakan makan malam untuk menjamu penolong mereka, dia bermaksud untuk memotong ayam sebagai lauk, tetapi Si Fu berkata, “Makan sayur saja sudah cukup, jangan membunuh ayam tersebut !” Si Fu melarang istri Zhu En memotong ayam.

Zhu En menyiapkan tempat tidur bagi Si Fu bermalam dengan membuka pintu rumahnya sebagai papan tempat tidur dengan disanggah oleh dua buah kursi. Pada malam hari, tiba-tiba Si Fu mendengar suara ayam yang menjerit. Oleh sebab itu dia bergegas bangun untuk melihat apa yang terjadi, begitu dia bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar dia mendengar suara yang sangat keras, seperti suara benda keras yang terjatuh. 

Zhu En terbangun mendengar suara keras itu, dia bergegas memasang lampu dan dia melihat pintu yang dibuat tempat tidur untuk Si Fu telah hancur, kursi berserakan, rupanya ada lemari besar tua setinggi langit-langit yang ternyata kakinya rapuh jatuh menimpa tempat tidur tersebut.

Si Fu menyuruh mereka jangan memotong ayam tersebut, akhirnya ayam tersebut yang membalas budi untuk menyelamatkan nyawanya.

Sejak saat itu, Si Fu dan istrinya semakin giat membantu orang lain dan beramal, perbuatan apa saja yang bisa membantu orang lain pasti mereka lakukan. Tidak sampai 10 tahun usaha mereka semakin maju, mereka semakin kaya dan semakin banyak membantu orang lain.