Kamis, 29 November 2018

R.I.N.D.U

Aku rindu bukan siapa diriku, aku rindu bukan kepada siapa itu.
Aku rindu untuk jujur lepas tentang rasaku.
Aku rindu saat aku dapat menangis tanpa berpikir bahwa aku akan terlihat lemah.
Aku rindu saat aku mampu mengungkapkan apa yang sesungguhnya aku rasakan.

Aku bertumbuh, aku menjadi dewasa, aku mengerti dan aku memahami.
Namun dari semua pemahamanku tentang perkembangan diriku menjadi lebih baik.
Aku merasa aku harus mampu untuk menjadi lebih kuat, yang terkadang berakhir dengan aku yang justru tidak mampu jujur.

Bukan kebohongan, bukan manipulasi.
Tapi aku merasa semua emosi itu tertahan.
Aku bangga aku mampu.
Tapi disisi lain seakan aku melukai diriku sendiri disetiap emosi yang aku kendalikan.

Aku tahu itu harus, aku tahu posisiku, aku tahu keadaanku.
Dan aku berpikir itu yang seharusnya terjadi, itu yang seharusnya aku perbuat.
Tapi disisi lain diriku penuh luka disebabkan oleh diriku sendiri.

Aku membohongi semua.
Terlihat bahagia.
Bahwa tidak apa-apa.

Tapi aku menjadi semakin jauh.
Seakan berjalan berlawanan arah dari apa yang seharusnya aku tuju.
Tapi aku tetap berpikir ini baik, ini yang seharunya.

Terus memendam rasa.
Rasa suka, rasa cinta, rasa sayang, rasa marah, rasa sedih, rasa kecewa, rasa terluka.

Aku suka kamu, tidak mampu aku katakan.
Aku cinta kamu, aku pun mulai ragu akan rasaku. Apakah rasa ini memudar dengan seiring menjauhnya kita dari semua aktivitas bersama?
Aku sayang kamu, aku tahu, aku rasakan itu, aku ungkapkan dan aku sampaikan, karena bagiku sayang itu universal semua dapat aku sayangi, semua dapat aku kasihi.
Tapi diamnya dirimu membuat aku kembali berpikir bahwa kini mungkin hanya tinggal aku sendiri.

Aku suka kamu, aku simpati, aku sayang, aku tertarik.
Rasanya menyenangkan saat kamu menyapa, saat kamu peduli.
Tidak bisa aku ungkapkan.
Karena posisiku dan dirimu kini. Karena keadaanku dengan dirinya yang bagai hubungan tanpa cinta.
Tidak tahu mengapa kami bertahan, tidak paham mengapa kami memulai.
Aku rasa aku mulai menyukai dirimu yang bukan dirinya.
Akankah semua berakhir sama? Karena aku yang salah?

Aku marah, aku sedih aku kecewa, aku terluka.
Sebab kamu seakan biasa. Sebab kamu seakan tak peduli. Sebab kamu tak lagi ungkapkan cinta.
Sebab kamu berkata tidak ada lagi rindu justru jenuh yang kau rasa.
Sebab kamu mengaku bahwa sayang itu kini tak lagi sama.
Apakah aku yang salah? Apakah aku yang tidak peduli? Apakah aku?

Aku sedih, aku kecewa, aku terluka.
Bukan aku tidak menghargaimu atau tidak menyayangimu.
Tapi semua kekangmu terkadang membuatku jenuh.
Aku ingin lepas, bebas dan memiliki diriku sepenuhnya.

30.11.2018
Aku,Kamu,Dia,&Mama

Maaf aku merasa tidak setia, aku tidak berbuat lebih jauh dari sekadar melihat, tapi hatiku tak mampu berdiam diri. Tenang saja kontrol diri ini masih cukup untuk menjaganya tetap disisiku, meski aku tak tahu akan sampai kapan bila kau terus merasa kehampaan saat itu tentang dirimu.

Minggu, 16 September 2018

Kesibukan dan Ketiadaan akan Waktu

Sering kali kita berkata bahwa kita tidak memiliki waktu. Namun kita tahu bahwa sesungguhnya waktu kita semua di dunia ini adalah sama, tidak kurang tidak lebih barang satu detikpun juga dalam menjalani harinya sampai dengan ajal menjemput kita diakhir kehidupan. Terkadang kita memiliki mental lemah yang dapat dikatakan cacat. Mental dimana kita ingin selalu dikasihani dan merasa sudah melakukan yang terbaik dan berharap memperoleh yang tebaik juga. Padahal kita belum memerah diri sebegitu kerasnya.

Terkadang kita berkata tidak ada waktu, padahal hanya kita yang tidak bisa menentukan prioritas mana yang harus kita dahulukan. Mana yang lebih penting dan berharga. Karena sesungguhnya semua orang pun sama memiliki waktu yang sama. Terkadang hanya alasan kita untuk tidak melakukan suatu pekerjaan karena memang tidak menyukainya.

Seperti aku sekarang ini, berkata "kita" namun sesungguhnya adalah "saya". Semua yang aku katakan adalah tentang diriku sendiri, yang merasa lemah dan ingin dimaklumi. Mentalku lemah, diriku terbawa aliran waktu mengalir apa adanya. Diriku kehilangan arah, siapakah aku?

Aku berdoa, aku berharap tanpa berusaha. Kemanakah aku akan berakhir? Hanya kegagalan dan kekecewaan karena tidak mampu menyelesaikan segala yang didoakan tersebut. Namun salah siapa? Diriku sendiri.

Karena aku bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Kemana aku, apa yang aku lakukan, bagaimana aku akan berakhir dan dikenang. Aku mulai berpikir jauh kemasa depan yang belum terjangkau. Namun sudah mampu aku pikirkan. Apakah aku akan jadi ibu yang baik? Menjadi ibu rumah tangga atau tetap menjadi wanita karir? Salahkan menjadi wanita yang berkarir? Egoiskah pada anakku nanti?

Kemajuan zaman dan "emansipasi" katanya aku tak tahu kemana hatiku ingin pergi. Aku tak ingin hidup tanpa menghasilkan, tapi aku tetap bisa menghasilkan didikan yang baik aku harap. Bagaimana caranya? Hanya dengan aku yang mampu dan memiliki kemampuan. Maka sebab itulah kita harus menjadi mampu dan tidak berhenti belajar karena inilah hidup.

Aku melihat sekelilingku dimana wanita bekerja dari pagi hingga larut. Dimana anak-anak yang masih butuh sosok yang diikuti melihat pada orang lain terkadang baby sister atau mungkin nenek yang menjaganya. Aku harap bila aku memiliki buah hati aku bisa ada disana melihat perkemangan mereka dan mereka melihatku sebagai sosok ibu bukan hanya orang yang pulang malam dan melihat mereka tertidur.

Aku harus mampu.

Karena apa aku berkata? Ibuku selalu ada, tapi aku tahu rasanya sepi hanya mampu melihat punggungnya. Aku seperti manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang, karena aku merasa aku selalu kesepian. Aku harap aku tidak membuat orang lain merasakan hal yang sama. Tapi mungkin aku pun akan egois dalam pilihan hidup dengan ingin tetap bekerja. Dilema kehidupan.

Dilema yang bahkan masih jauuh sekali dipandangan mata namun sudah terus terpikirkan saat ini.

Salam
Aku yang belum tahu arah.
16.09.18


Senin, 09 April 2018

Aku dan Tulisan

Aku tidak yakin bahwa tulisanku bagus.
Aku tidak tahu kalau bahasaku benar. Apakah sudah mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan? Aku bahkan terkadang tidak memikirkan apa yang ingin aku tulis. Harus sepanjang apa, harus seperti apa.

Aku hanya ingin menulis, ini kah hobi? Aku pun tak yakin padanya. Aku hanya merasa aku selalu menjadi lebih baik setelah aku menulis. Disaat aku sedih, disaat aku terluka disaat aku tak tahu apa yang aku rasa. Aku menulis dan hanya memulainya begitu saja. Dari awal yang aku tak tahu aku ingin menulis apa akhirnya aku mulai bercerita, terkadang aku memulainya dengan kalimat tanya.

Aku bertanya aku kenapa? Apa yang aku rasakan? Apa yang aku pikirkan? Apa yang aku inginkan? Siapa diriku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Terkadang aku juga merasa saat aku membaca kembali apa yang aku tuliskan. Terkesan selalu sama. Masalah yang aku hadapi kembali pada titik yang sama. Seakan aku tidak berkembang maju melaluinya.

Aku memilih menulis. Bagaimana dengan dirimu wahai pembaca? Apa yang kamu pilih saat kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan apa yang kamu rasakan. Aku bukanlah penulis. Aku bukan seorang puitis. Menulis menjadi salah satu cara bagiku untuk berbicara kepada kamu, kepada diriku sendiri. Aku yang penyendiri, aku yang menutup diri. Aku bahagia saat aku dapat menenangkan diri melalui tulisan ini. Aku bahagia saat aku merasa dapat berkomunikasi dengan diriku sendiri.

Wahai diriku
Ya..
Kamu yang ada disana. Mengapa kamu selalu kembali bersedih? Aku tahu tidak segala hal selalu berjalan dengan baik. Aku tahu kamu sedang memikirkan aku. Terimakasih. Terimakasih sudah memikirkan aku dan segala tugas serta tanggung jawabku. Batasan waktu itu memang mengekang kita.

Sampai aku merasa ditahap aku tidak dapat bahagia. Wahai tugas berhentilah, aku lelah. Tapi aku tahu hal itu tak ada gunanya. Selain aku harus terus berusaha berjalan mengejar ketertinggalan. Apalagi yang mampu aku lakukan. Semua demi sebuah cita dan harapan. Aku harap semua ini segera dapat dilalui. Meski aku tahu setelah semuanya, aku tak tahu apalagi yang menanti. Aku tak tahu apalagi yang akan aku tuju.

Bagaimanapun aku berusaha menyukainya, aku tetap tidak suka. Aku tidak suka batasan waktu ini yang mengekang kita. Aku tidak suka. Tapi aku harus mengalahkannya. Aku memang bingung dan tak tahu arah. Aku tahu aku tidak bisa melakukannya semudah aku menulis disini. Karena pemikiran itu harus dilandasi data yang lebih terkini. Tapi aku rasa metodeku disini tetap dapat berlaku.

Aku yang tak tahu mau menulis apa. Aku hanya duduk berusaha menuliskan apa yang aku pikirkan, bukan sebuah karya tentu saja, tetapi akhirnya menjadi suatu buah pemikiran yang aku curahkan yang selanjutnya dapat aku telaah kembali benang penghubung diantaranya untuk analisis lebih mendalam.

Apapun itu tidak akan selesai dengan dipikirkan. Semua harus kita kerjakan. Apapun itu lakukan dulu. Bergeraklah dan mulai. Semua sulit saat memulainya. Tapi kamu harus mencoba.

Salam,
Tukang ketik yang sedang malas dan buntu.
Mengenai data dan persetujuan.
Mengenai waktu dan harapan.
Dari aku yang mulai takut dan gelisah disaat waktu semakin dekat.
Dapatkah aku menyelesaikannya sebelum waktu bergerak pergi?

09 April 2018

Minggu, 08 April 2018

Worry and Spirit

Mungkin ini akan jadi cerita yang lebih pribadi.
Saat ini rasanya aku sedang butuh banyak semangat lebih untuk berhenti menjadi orang yang jahat dan bodoh. Kejahatan terbesar yang aku lakukan. Kejahatan yang tidak termaafkan. Kejahatan pada diri sendiri. Mungkin kalian berpikir aku aneh karena merasa bahwa itu adalah kejahatan yang paling buruk dari yang terburuk.

Menyakiti orang lain tentu hal yang buruk aku pun setuju akan hal itu. Namun, kejahatan pada diri sendiri bagiku adalah hal yang lebih tidak dapat aku maafkan. Karena saat kita menyakiti orang lain, kita juga sudah menyakiti diri kita sendiri. Melukai jati diri kita, harga diri kita, batin kita, nurani kita, jiwa kita yang murni. Kita mungkin dapat menahan diri, kita mungkin dapat menjaga sikap saat berhadapaan dengan orang lain, saat ada orang lain yang memperhatikan kita. Tapi kita akan menjadi diri kita seutuhnya saat kita hanya sendiri, apakah hal yang kita lakukan adalah hal yang tetap baik atau kita berubah 180 derajat dari diri kita biasanya. Kita yang biasa memakai topeng untuk menutupi diri, menjadi sebaik-baiknya dihadapan orang lain akan menjadi diri kita sendiri saat berada di wilayah privasi kita. Kita yang menutup diri dan minder dengan kemampuan kita akan menjadi apa adanya saat tidak diperhatikan (seperti kita yang bernyanyi saat di kamar mandi).

Kita mungkin tidak merasa bersalah bila menyakiti diri sendiri, karena itu adalah diri kita sendiri. Aku tidak berpikir demikian, justru karena itu adalah diri kita sendiri sudah seharusnyalah kita menjaganya. Bukan untuk menjadi egois dan hanya mementingkan diri kita sendiri, namun untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena dalam hidup ini apapun dapat pergi dan hilang dari dirimu kecuali dirimu sendiri. Ia akan selalu ada dan menemani hingga akhir hidupmu, ia yang akan setia bersamamu, baik dan buruknya dirimu, menemanimu, menerima siapa kamu. Namun ia yang telah kamu sakiti, dengan tidak berjuang sekuat tenagamu untuk dirimu sendiri yang begitu tulus dan setia. Kamu jauh lebih berjuang dan berusaha membahagiakan orang lain lebih dari dirimu sendiri. Terkesan egois memang, tapi bukan itu yang aku maksud. Tapi apapun juga kamu harus menjadi mampu, kamu harus menjadi bisa, kamu harus menjadi nomor satu bagi dirimu sendiri, agar orang lain tidak dapat menyakitimu.

Berapa banyak orang yang mencintai orang lain sebegitu besarnya hingga menyakiti dirinya sendiri diakhir kisah perpisahan. Berapa banyak orang yang jatuh sakit karena terlalu mencintai pekerjaannya yang akhirnya hanya membawa kertas dan nilai yang berharga didunia. Aku tidak berkata untuk tidak mencintai setulus hatimu, aku tidak berkata untuk bekerja dengan santai. Bukan itu garis utama yang ingin aku sampaikan. Mungkin pada akhirnya hal utama yang aku sampaikan adalah kehidupan yang seimbang antara pekerjaan cinta dan dirimu sendiri. Namun sulit untuk menjadi adil bahkan dengan satu pembanding, dengan kehidupan kita yang begitu banyak urusan kita mungkin menjadi tidak adil. Kamu butuh juga istirahat, kamu butuh juga waktu untuk dirimu sendiri, kamu butuh juga waktu untuk melihat kedalam dirimu sendiri, kamu butuh waktu untuk keluargamu.

Sulit menjadi seimbang aku tahu itu. Itulah yang aku sesalkan, aku sulit seimbang pada diriku sendiri. Sesuatu didalam diriku sedang meronta-ronta ingin berjuang lebih keras, saakan ia dipenjara oleh rasa malas. Logika atau rasaku yang berkata? Bahwa aku tidak suka kehidupan seperti ini, aku tidak suka kekangan ini, aku tidak suka pekerjaan ini, aku tidak suka meneliti. Aku ingin bebas. Kapan aku bebas? Apakah setelah bebas aku mampu bahagia? Apakah itu adalah kebahagiaan ku? Mengapa aku letakkan kebahagiaanku disana? Mengapa tidak aku bawa bersamaku saat ini? Ada bagian dari diriku berkata aku ingin ini segera selesai. Lakukanlah yang terbaik. Kerjakanla maka ia akan kamu lalui nantinya, menjadikan dirimu lebih baiklagi. Tapi ada pula dari diriku yang berkata, aku ingin ini, ingin ini, ingin ini, hal-hal yang menyenangkan, hal-hal penggembira bukan tentang masa depan. Lalu aku tersadar saat aku bicara lagi, apakah ada dua diri dalam diriku?

Aku yang ingin mengerjakannya dan aku yang ingin bersantai-santai. Aku ingin berhenti menjadi malas dan bodoh. Aku ingin berhenti membodohi diriku sendiri. Aku harus berhenti. Aku harus berhenti malas dan tidak berjuang. Aku harus berhenti jalan ditempat dan bahkan mundur kebelakang. Aku butuh pemacu, aku butuh semangat.

Aku butuh
.
.
.

Dimana dirimu?
Mengapa kamu tidak ingin melakukan ini?
Apa yang ingin kamu lakukan?

Aku dan diriku yang sedang dilanda dilema batin mengenai TA
9 April 2018
Diketik di Jakarta dijam-jam yang kucuri.

Jumat, 16 Juni 2017

Kesepian VS Kesendirian

Just

HELLO GUYS!
:)

Lama tidak mencurahkan rasa pada sebuah tulisan, kali ini aku mau mencoba buat bahas kesepian dan kesendirian.

Well, aku mikir di zaman sekarang ini apa kalian masih bisa punya tempat untuk sendirian? Apa kalian masih bisa merasa kesepian? Karena dengan kemajuan zaman dengan teknologinya jarak jauh dan waktu seakan bukan lagi halangan untuk bisa berkomunikasi dengan sesama. Apa kalian justru merindukan keheningan di zaman serba cepat ini?

Semua terasa ramai baik dengan orang maupun 'alat'. Aku hanya berfikir apa kalian juga merindukan masa-masa tenang untuk sesaat? Apa kalian merasa bersama dalam setiap keramaian?
Ataukah kalian seperti aku? Merasa sendiri di dalam hingar bingar yang tak aku mengerti dan tak dapat aku rasakan dimana jiwanya.

Aku disana, berdiri, bercengkrama, bahkan mungkin tertawa. Sesaat aku merasa iya aku disana, lalu sekejap aku merasa hilang dari peradaban. Aku tidak merasa menyatu dengan semua suara, aku merasa tidak mampu mendengar lagi mana suara yang berasal dari diriku sendiri. Apa ini namanya? Apa yang aku rasakan?

Sendirikah? Apa ia aku sendirian? Apa iya aku lebih mengharapkan untuk menjadi sendiri, sering kali aku pikirkan lagi dan lagi, apa aku ingin sendiri, selalu sendiri? Lalu aku selalu kembali pada kesimpulan yang sama, aku tidak sendirian, disini ramai dan begitu banyak orang, tapi aku merasa hatiku tidak dapat melihat hatinya. Bagaimana cara kita berkomunikasi, kita bercakap, kita tertawa, tapi aku tidak merasa hangat akan kehadirannya.

Apakah aku akan memilih untuk selalu sendirian? Aku berpikir setiap saat aku merasa aku ingin sendiri, tapi apa yang aku dapat adalah sesungguhnya aku tidak berharap aku selalu sendirian, aku hanya merasa dimana hatiku berada, seakan-akan ia selalu tertinggal jauh dibelakang, tak dilihat, tak diajak, tak merasa. Aku tidak merasa bahwa dunia ini sepi atau aku akan menjadi sendiri, tapi hati ini selalu merasa bahwa ia tidak memiliki siapapun dan apapun untuk digenggam dan dipercaya selain aku sendiri.

Lalu ia akan menjadi selalu sedih dan merasa sendiri ataupun ditinggalkan saat aku sibuk dengan segala urusan entah itu penting ataupun tidak. Ia selalu menunggu aku pulang, ingin berbincang, ingin bermanja-manja, ia takut pada keramaian, ia takut untuk keluar pada peradaban zaman.

Apakah aku merasa ia bersalah? Apakah aku merasa ia manja? Aku rasa tidak, ia disana, selalu ada untukku, selalu jujur terhadapku, selalu jujur akan apa yang ia rasakan, tapi terkadang ia aku bungkam, ia aku suruh diam, ia aku suruh menjaga sikap, ia aku suruh untuk selalu kuat dan tegar, ia aku suruh menahan diri, lagi, lagi, dan lagi.

Setiap hari seakan-akan ia aku lupakan, seakan-akan ia aku pojokan, seakan-akan ia tak memiliki hak untuk jujur dan bersuara. Ia aku bungkam, ia aku tekan, ia sendirian, ia hanya menanti aku pulang, ia hanya ingin jujur, ia hanya ingin pelukan.

Ia terlalu mudah percaya? Ia terlalu muda atau  mungkin kekanak-kanakan? Ataukah ia hanya terlalu lemah terlihat bagi kalian? Tapi tidak buatku. Ia sebenarnya yang selalu berani, tulus lalu dikecewakan, percaya, terlalu percaya mungkin, dan semua hanya menjadi khayalan semata. Lalu ia sekarang yang menjadi tertutup tidak ingin percaya dan hanya ingin berada jauh didalam diriku tanpa ingin keluar. Mungkin ia paham saat ia keluar, percaya, yakin dan selanjutnya ia akan berharap rasa itu selalu bisa ia dapatkan, tapi kehilangan selalu sama menyedihkannya. Atau mungkin ia terlalu banyak diam-diam mendengarkan, diam-diam mengikuti semua berita mengerikan di dunia ini, dimana percaya lalu dikhianati.

Ia yang selalu menunggu kepulanganku, waktu santaiku, untuk berbincang dan mengungkapkan dirinya, tapi apa aku? Apa dayaku? yang selalu hadir dimalam hari dengan sisa-sisa tenaga dan hanya ingin tidur tanpa memperhatikannya, yang setiap libur terlalu sibuk pada segala kebahagiaan dan kesenangan yang terasa. Lalu apa? Lagi-lagi aku melupakannya, menyuruhnya menunggu diam, jangan manja, kamu harus kuat dan mampu. Lagi.

Apakah aku disini sendirian?
Apakah ada orang lain diluar sana yang juga merasakan hal yang sama?

Kita berada pada tempat yang ramai, mewah, meriah. Dalam keramaian saling berbicara saling membalas sapa bahkan saling tertawa, tapi aku tak tahu dimana hatimu aku tidak mampu merasakan dimana suara hatiku. Lalu apakah harus ditempat sepi aku baru mampu merasakan suara diriku sendiri?

Kau tahu? Saat ini ia sedang diam didalamku berkata "aku merasa seperti orang yang tidak bersyukur, seperti orang yang manja dan pengeluh luar biasa dengan berkata ini, mungkin seharusnya aku diam saja. Maafkan aku."

Ia merasa ramai, suara dimana-mana, tapi ia hanya sendirian. Apakah aku melupakannya? Apakah aku menutup dirinya? Atau itu adalah hakiki diriku yang sebenarnya?

Salam,
Aku yang merasa memiliki dua jiwa.
16 Juni 2017
Jakarta yang masih tetap terik meski tidak seperti biasanya, karena cuaca pun tak menentu adanya.

:)

Hope you like it and enjoy guys.
.
.
.
So, Bye! See ya Guys.

Selasa, 13 September 2016

KEEP MOVING FORWARD!

Move On, apa sih yang dimaksud move on itu? Apakah cuma sekedar berpindah dan kalau ini pembahasan mengenai hati yang jatuh cinta, apakah hanya tentang kembali mencintai orang lainnya?
Apakah semudah itu?

Hidup kita mempunyai begitu banyak rasa yang terjadi dalam perjalanannya, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, baik positif maupun negatif. Semua perasaan itu mengandung emosi yang berbeda-beda dan semakin kuat emosi yang ada dalam suatu kejadian maka semakin sulit untuk kita melupakannya. Seperti saat kita begitu menyukai seseorang ataupun begitu membenci seseorang. Emosi itulah yang menyebabkan kita sulit move on.

Baik itu emosi positif maupun negatif, jadi saat kita tidak bisa memaafkan suatu kesalahan dan menggenggam rasa benci yang mendalam artinya kita juga sedang tidak bisa move on. Semua pemikiran dan emosi kita terus terkuras untuk kejadian yang terus kita kenang tersebut sehingga pemikiran dan perasaan kita tidak dapat memperhatikan keadaan saat ini.

Padahal manusia terbentuk dari kejadian demi kejadian dimasa lalu, tapi kedepannya manusia dibentuk dari kejadian-kejadian disaat sekarang. Kita tidak bisa menggenggam masa lalu dan belum mampu mengenggam apa yang ada di depan, sehingga apa yang kita miliki adalah detik yang saat ini sedang kita lalui. Seperti air yang mengalir, meski terus melewati tanggan kita kembali, tetapi itu bukanlah lagi aliran air yang sama seperti yang sebelumnya. Kita tidak bisa menggenggam masa lalu karena masa depan adalah yang kita tuju, dan masa depan dibentuk dari apa yang kita lakukan saat ini.

Gak bisa move on dari apa yang sudah berlalu hanya akan membawa semakin banyak kekacauan dimasa akan datang karena membuat kita gak bisa fokus dengan masa sekarang ini. Sayangnya manusia memiliki kecenderungan untuk melekat pada hal yang yang disenangi dan menghindari apa yang tidak disengangi atau dalam tahap ekstrim adalah membenci apa yang membuatnya merasa tersakiti, emosi seperti suka dan benci ini justru membuat kita sulit terlepas dari hal yang kita senangi maupun tidak kita senangi.

Well! Bukan berarti kita harus hidup tanpa perasaan juga dan semua hanya datar-datar saja.
Seperti makanan semua ada kadarnya, kalau berlebihan juga tidak akan membuat makanan itu sedap, tapi kekurangan pun akan membuatnya hambar. Bayangkan saja makanan dengan terlalu banyak garam, bukan semakin enak tetapi justru semakin sulit dimakan, sedangkan makanan yang kekurangan garam akan terasa hambar.

Jadi move on atau gak bisanya kita move on yah tentu dari diri kita sendiri, apakah niat kita cukup kuat untuk membawa diri kita keluar dari apa yang kita mau move on kan.

Dalam hal sakit hati, kekecewaan, benci dan dendam. Apa yang paling benar dan mampu kita lakukan hanyalah memaafkan. Sulit tentu saja, aku tidak pernah mengatakan ini akan mudah. Tapi kalian akan tahu saat setelah kalian melewati segalanya, saat kalian sudah menaiki tingkat yang jauh lebih tinggi dan mampu untuk melihat secara lebih luas, bahwa apa yang sudah kalian lakukan dimana kalian sendiri tidak menyangka bahwa kalian sudah melewatinya. Itu benar-benar perasaaan positif yang luar biasa.

Satu hal yang harus ditanamkan dalam hati saat mau move on adalah

KEEP MOVING FORWARD!

Apapun yang terjadi, sekecil apapun progress yang kalian lakukan, teruslah bergerak maju. Mungkin terdengar seperti biarkan waktu yang menyembuhkan. Bukan waktu yang mampu menyembuhkan, karena waktu hanya mampu membuatmu melupakannya SESAAT dan waktu hanya mampu menutupinya bukan menyelesaikannya. Bila kamu masih tidak mampu untuk memaafkan dirimu sendiri semua tidak akan bergerak maju dari pandanganmu yang tetaplah sama.

Perasaan seperti kecewa, benci, marah kamu hanya bisa melewatinya dengan memaafkan, maafkan diri sendiri yang begitu bodoh sehingga mampu melakukan kesalahan tersebut, maaf kan orang lain yang ikut andil dalam hal itu. Sadari bahwa kau tak sendiri, bahwa masih ada orang lain yang menyayangimu, sadari bahwa meski kau salah dimasa lalu, kau masih bisa berguna dimasa depan, sadari bahwa hidupmu bukan hanya milikmu sendiri, tapi juga orang lain.

Menyadari bahwa meski kamu telah melakukan kesalahan dimasa lalu kamu masih mampu menjadi sesorang yang menyadarkan orang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama dengan yang pernah kau lakukan. Percayalah!





Kamis, 05 Mei 2016

Kekuatan Belas Kasih

Di India Utara ada sebuah desa yang memiliki kondisi alam kurang bersahabat, membuat desa hidup dalam kemiskinan. Untuk mencari makanan sehari-hari penuh dengan perjuangan. Semua orang ingin mengubah keadaan tapi tidak ada yang tahu bagaimana melakukannya.

Tidak jauh dari desa tersebut ada sebuah jalan antar kota. Karena kondisi jalan jelek, banyak mobil dan truk yang jatuh disana. Suatu hari sebuah truk penuh dengan makanan kaleng terguling ke pinggir jalan dan kaleng-kaleng berserakan di mana-mana. Karena sopir terluka, dia menumpang kendaraan menuju ke rumah sakit dan meninggalkan makanan kaleng berserakan di tanah. Ketika penduduk desa menemukan makanan kaleng "gratis", mereka membawanya pulang.

Selama beberapa hari setelah kecelakaan itu, setiap keluarga memiliki makanan kaleng di meja makan malam mereka. "Keberuntungan" ini mengilhami para penduduk desa. Sebagai pepatah lama mengatakan: "Bertahan dengan apa saja yang ada di dekat, baik itu gunung atau danau."

Sekarang penduduk desa berpikir bahwa mereka bisa hidup dari jalan raya tersebut. Mereka mulai sering pergi ke jalan raya, berharap menemukan truk rusak dan penuh makanan. Tapi kecelakaan tidak terjadi sesering yang mereka inginkan. Hanya melihat truk makanan datang dan pergi, Penduduk desa kecewa tidak mendapatkan apa-apa.

Suatu hari, seseorang datang dengan ide yang cerdik. Mereka pergi ke jalan dengan sekop dan cangkul, dan menggali banyak lubang di malam hari. Tak lama kemudian, lebih dan lebih banyak mobil dan truk pecah ban di sana. Karena jalan yang buruk, truk-truk melaju sangat lambat menghindari terjadinya kecelakaan. Penduduk desa kemudian dengan mudah mengikuti dan mencuri beberapa barang di truk. Lambat laun, keadaan semakin memburuk. Awalnya, mereka mencuri makanan hanya untuk konsumsi mereka sendiri. sekarang mereka mulai mengambil barang-barang lain dan menjualnya di pasar. Akhirnya, pencurian berubah menjadi murni perampokan. Jalan dekat desa menjadi bagian paling berbahaya di sepanjang jalan raya tersebut. Setiap bulan, polisi menerima beberapa laporan tentang perampokan.

Suatu hari, polisi menangkap dua penduduk desa saat mereka merampok sebuah truk dan memenjarakan mereka. Penahanan itu tidak membuat penduduk desa lainnya jera. Mereka menjadi lebih licik dalam melakukan kejahatan ini. Mereka mengorganisasi diri mereka dan menugaskan orang-orang untuk mengawasi polisi. Setelah perampokan, mereka menyembunyikan barang atau mengubah kemasan sehingga polisi tidak bisa menemukan bukti. Pemerintah lokal mencoba berbagai cara menghentikan tindak kejahatan ini.

Karena penduduk sudah terbiasa dengan cara hidup seperti ini, perampokan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Selama satu musim dingin, karena reputasi desa, banyak pengemudi truk menghindari jalan desa dengan memilih jalan memutar. Hasilnya, penduduk desa tidak mendapat apa-apa selama beberapa hari berturut-turut. Suatu hari, sebuah truk penuh dengan pati fosfat lewat. Pati fosfat adalah digunakan untuk industri dan beracun.

Para penduduk desa kebanyakan tidak berpendidikan, dan menurut mereka, pati adalah makanan yang bisa dimasak dengan berbagai cara. Jadi, mereka menghadang truk, dan sebagaian meloncat ke atas truk dan mengambil lebih dari 20 kantong. Pengemudi yang masih muda ini menghentikan truk dan mengejar para perampok. Penduduk desa lainnya mengambil kesempatan ini, mereka membongkar semua kantong-kantong pati yang tersisa.

Ketika pengemudi pergi ke desa, ia memohon kepada penduduk desa untuk mengembalikan pati tersebut. Saat ini, semua penduduk desa sudah menyembunyikannya dan tak seorang pun mengaku sebagai pencuri. Permohonan pengemudi ini tidak mendapat perhatian. Akhirnya, ia mengatakan kepada penduduk desa bahwa pati tersebut tidak dapat dimakan dan ini hanya dipakai untuk industri. Orang bisa meninggal jika mereka memakannya, jadi bagi penduduk desa ini adalah tidak bermanfaat. Pengemudi mengatakan kepada mereka kebenaran, tetapi penduduk tidak percaya kepadanya. Bagaimanapun, pati itu kelihatan persis sama seperti pati biasa yang bisa dimakan.

Pengemudi menjadi sangat takut ketika penduduk desa tidak percaya kepadanya. Dia ingin melaporkan kejadian tersebut kepada polisi, tetapi ia juga khawatir seseorang akan memakan pati dan mati. Walaupun ia tidak akan bertanggung jawab atas kematian siapa pun, dia tidak mau seseorang meninggal karena suatu kesalahan bodoh. Dia pergi dari pintu ke pintu untuk memberitahu orang-orang kebenaran, bahkan ia berlutut dan berkata: "Saya tidak peduli tentang pati itu bahkan jika Anda tidak mengembalikannya, hal yang terburuk bukan pada kerugian ekonomi saya, tapi saya memohon kepada Anda untuk tidak memakannya, karena jika tidak, Anda akan meninggal."

Melihat desakan pengemudi itu, beberapa penduduk desa mulai ragu akan diri mereka sendiri. Seseorang memberi makan ayam dengan pati tersebut dan ayam mati dalam beberapa menit. Pengemudi itu mengatakan kebenaran! Penduduk desa terkejut, dan hati mereka sangat tersentuh. Mereka telah mencuri barang-barang pengemudi ini dan seharusnya pengemudi itu membenci mereka. Bahkan jika mereka mati karena pati beracun, mereka merasa pantas mendapatkanya. Namun pengemudi ingin menyelamatkan nyawa mereka yang sangat buruk, dia bahkan memohon dengan berlutut kepada mereka .

Ini semacam rasa cinta dan belas kasih, serta kerendahan hati membuat penduduk desa merasa malu. Penduduk desa mengembalikan semua pati ke truk. Sejak hari itu, orang-orang di desa tidak pernah merampok truk lagi. Ketika seseorang tergoda untuk mencuri, yang lain akan berkata: "Pikirkan tentang orang baik. Kita merampok dia, tetapi ia menyelamatkan hidup kita. Apakah kita masih ingin melakukan hal buruk ini? Apakah kita benar-benar jahat?"

Sekarang jalan dekat desa ini menjadi aman kembali. Setelah semua upaya-upaya penegakan hukum dan persuasi pemerintah gagal, pengemudi muda dengan belas kasih mengubah segalanya.

Sumber: ceritainspiratifmotivasi.blogspot.co.id

Semua orang pastinya tidak ingin disakiti dan merasakan penderitaan, tetapi semua orang sudah tentu akan menerima rasa cinta kasih. Dari kisah diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa rasa belas kasih yang tulus dapat merubah hati yang keras. Dengan segala tindakan hukum yang keras dan tegas tidak mampu untuk membuat para penduduk desa menyerah dalam melakukan tindakan kejahatan, tidak mampu membuat para penduduk desa menyadari bahwa apa yang diperbuat adalah suatu kesalahan. Meski para penduduk desa melakukan tindakan itu sebagai cara untuk bertahan hidup, tetapi kesalahan tetaplah kesalahan, perbuatan jahat tetaplah jahat.

Kembali kepada inti kisah ini bahwa hati yang tulus, belas kasih yang tulus dapat menggerakan hati yang keras. Terkadang sulit untuk tetap menjadi baik saat situasinya tidak baik, tetapi kita tidak boleh melupakan hakiki diri kita sendiri yang sesungguhnya adalah baik. Bagaimana orang bertindak adalah hak mereka, bagaimana kita bereaksi adalah keputusan kita. Bagaimana kita melatih diri untuk terus mampu menjaga kesadaran dan tidak terbawa emosi dalam segala situasi, sehingga kita mampu bertindak secara bijaksana.