Jumat, 31 Januari 2014

Happy Chinese New Year 2565/2014


Happy Chinese New Year 2565/2014 to all my friends far and near may the year of the horse brings you abundantly good wealth and health.

Wishing you a happy and prosperous Chinese New Year

The Year of Horse

- 31 Januari 2014 -

Itu Tidak Tetap, Itu Tidak Pasti

Ketika berfokus pada Dhamma di sini dan saat kini. Di sinilah kita bisa melepas segala sesuatu dan memecahkan kesulitan-kesulitan kita. Sekarang juga, pada saat ini, karena momen kini mengandung sebab maupun hasilnya. Saat kini adalah buah masa lalu. Saat kini juga sebab bagi masa depan. Kita tengah duduk sekarang ini adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan pada masa lalu, dan apa yang kita lakukan kini akan menjadi sebab bagi apa yang kita alami pada masa depan. Jadi Buddha mengajarkan kita untuk membuang masa lalu dan membuang masa depan. Megatakan “membuang” bukanlah berarti kita membuang apa pun, namun berarti kita tetap di dalam satu titik saat kini, di mana masa lalu dan masa depan menyatu. Jadi kata “membuang” ini hanyalah cara bicara; apa yang ingin kita lakukan adalah sadar akan saat kini, di mana sebab dan hasil ditemukan. Kita melihat saat kini dan melihat pemunculan dan pelenyapan terus menerus, muncul dan berlalu.
Saya terus mengatakan hal ini, namun orang-orang tidak benar-benar memasukkannya ke dalam hati: fenomena muncul pada saat kini, dan mereka tidak stabil atau bisa diandalkan. Orang-orang tidak terlalu melihat ke dalam hal ini. Apa pun yang muncul, saya akan mengatakan, “Oh! Ini tidak tetap,” atau, “Ini tidak pasti.” Ini sangat sederhana. Apa pun yang terjadi adalah tidak tetap dan tidak pasti. Namun karena tidak melihat dan memahami hal ini, kita menjadi bingung dan tertekan. Dalam yang tidak tetap, kita melihat ketetapan. Dalam yang tidak pasti, kita melihat kepastian. Saya menjelaskannya, namun orang-orang tidak memahaminya, dan mereka terus saja menjalani hidup mereka dalam pengejaran segala sesuatu tanpa akhir.
Sungguh, jika Anda mencapai titik damai, Anda akan berada di sini, di tempat yang saya bicarakan, titik ini pada saat kini. Apa pun yang muncul, bentuk kebahagiaan atau penderitaan apa pun, Anda akan melihatnya sebagai tidak pasti. Ketidakpastian inilah Buddha itu sendiri, karena ketidakpastian adalah Dhamma, dan Dhamma adalah Buddha. Tapi kebanyakan orang mempercayai Buddha dan Dhamma sebagai sesuatu yang berada di luar diri mereka.
Ketika batin mulai menyadari bahwa segala hal tanpa kecuali alami bersifat tidak pasti, masalah-masalah yang ditimbulkan oleh cengkeraman dan kelekatan mulai berkurang dan pudar. Jika kita memahami hal ini, batin mulai melepas dan meletakkan segala sesuatu, tidak mencengkeram segala sesuatu, dan kelekatan bisa tiba di akhirnya. Ketika kelekatan berakhir, kita pasti mencapai Dhamma; tak ada sesuatu pun yang melampaui ini.
Ketika kita bermeditasi, inilah yang ingin kita realisasi. Kita ingin melihat ketidaktetapan, ketidak-puasan, dan ketiadadirian, dan ini dimulai dengan melihat ketidakpastian. Ketika kita melihatnya dengan sempurna dan jernih, maka kita bisa melepas. Ketika kita mengalami kebahagiaan, kita melihat bahwa “ini tidak pasti”. Ketika kita mengalami duka, kita melihat bahwa “ini tidak pasti”. Kita mendapat gagasan bahwa akan baik untuk pergi ke suatu tempat, dan kita menyadari, “itu tidak pasti.” Kita pikir akan baik untuk tetap berada di mana kita berada, dan kita menyadari, “ini pun tidak pasti.” Kita melihat bahwa segala hal mutlak tidak pasti, dan kita akan hidup dengan nyaman. Kemudian kita bisa tinggal di mana kita berada dan merasa nyaman, atau kita bisa pergi ke tempat lain dan merasa nyaman.
Keraguan akan berakhir seperti ini. Mereka akan berakhir dengan metode praktik pada saat kini ini. Tidak perlu resah mengenai masa lalu, karena itu telah berlalu. Apa pun yang terjadi pada masa lalu telah terjadi dan lenyap pada masa lalu, dan sekarang sudah selesai. Kita bisa melepas kekhawatiran mengenai masa depan, karena apa pun yang akan terjadi pada masa depan akan terjadi dan lenyap pada masa depan.
Ketika umat perumah-tangga datang memberikan persembahan ke sini, mereka melafal, “Pada akhirnya, semoga kita mencapai Nibbana pada masa depan.” Kapan atau di mana itu, mereka tidak benar-benar tahu. Nibbana jadinya nun jauh. Mereka tidak mengatakan, “Di sini saat kini.” Mereka megatakan “Suatu saat pada masa depan.” Selalu suatu tempat, suatu saat “di sana”. Bukan “di sini”. Hanya “di sana”. Dalam kehidupan berikutnya, juga akan dibilang “di sana”, dan dalam kehidupan-kehidupan mendatang juga akan dibilang “di sana”. Jadi mereka tidak akan pernah sampai, karena Nibbana selalu “di sana”.
Ini seperti orang-orang yang mengundang seorang bhikkhu tua untuk menerima dana makanan di desa dan mengatakan, “Tolong Bhante pergi menyambut dana ke desa sana.” Kemudian ketika ia telah berjalan ke desa yang jauh dari sana, penduduknya berkata, “Tolong Bhante menerima dana makanan di sebelah sana.” Ia terus berajlan, namun ke mana pun ia tiba, mereka memberitahunya, “Tolong Bhante menerima dana makanan di sana.” Orang tua malang ini tidak akan pernah mendapatkan sesuap makanan; ia hanya akan terus berjalan “ke sana,” dan “di sebelah sana”, dan tidak menerima apa pun.
Kita cenderung seperti ini. Kita tidak pernah mengatakan “di sini saat kini”. Kenapa tidak? Apa ada yang salah dengan saat kini? Ini karena kita masih terlibat dengan segala sesuatu. Kita masih bergembira dalam keduniawian dan tidak berani melepasnya. Jadi kita lebih suka membiarkannya menjadi “suatu ketika pada masa depan”. Persis seperti orang yang menyuruh bhikkhu tua tadi menerima dana makanan: “Tolong Bhante pergi ke sebelah sana untuk menerima dana makanan.” Jadi ia terus mencari tempat “di sana”, di mana ia bisa menemukan dana makanan untuk menyokong dirinya, namun tidak pernah “di sini”, dan ia tidak pernah menerima makanan apa pun pada akhirnya.
Mari kita bicarakan mengenai di sini saat kini, dalam kekinian. Praktik benar-benar bisa dilakukan dalam kekinian; kita tidak perlu melihat suatu ketika pada masa depan. Alih-alih menjadi resah mengenai apa saja, kita cukup melihat Dhamma di sini saat kini dan melihat ketidakpastian dan ketidaktetapan. Maka Batin Buddha, Yang Mengetahui, muncul. Hal ini dikembangkan melalui pengetahuan ini, bahwa segala hal adalah tidak tetap.
Disinilah pengetahuan diperoleh. Samadhi, keheningan batin, dapat dikembangkan di sini. Ada kedamaian dalam hidup di hutan: ada ketenangan ketika mata tidak melihat dan telinga tidak mendengar. Batin ditenangkan dari melihat dan mendengar. Namun batin tidak ditenangkan dari kotoran batin. Kotoran batin masih di sana, namun pada saat itu mereka tidak muncul. Itu seperti air dengan endapan di dalamnya: ketika air diam, air jernih, namun ketika sesuatu mengusiknya, kotoran naik dan mengeruhkannya. Anda pun sama dalam praktik Anda. Ketika Anda melihat bentuk, mendengar suara, memiliki pengalaman tak menyenangkan, atau merasa sensasi tubuh yang tak menyenangkan, maka Anda terusik. Jika semua ini tidak terjadi, Anda nyaman; Adna nyaman dengan kotoran batin.
Anda mungkin ingin mendapatkan sesuatu, seperti sebuah kamera. Jika Anda mendapatkannya, Anda merasa bahagia. Sebelum Anda mendapatkannya, Anda tidak akan puas, dan ketika akhirnya Anda bisa mendapatkannya, ada berbagai kesenangan dalam hal itu. Kemudian, jika kamera itu dicuri, Anda akan kesal. Kesenangan Anda telah hilang. Jadi sebelum Anda bisa mendapatkan apa yang Anda inginkan, ada ketidakbahagiaan; ketika Anda mendapatkannya, ada kebahagiaan; dan kemudian ketika itu hilang, ada ketidakbahagiaan lagi.
Samadhi yang datang dari hidup dalam lingkungan yang damai adalah seperti itu. Ada kebahagiaan dalam merasa senang oleh keadaan yang damai, namun kebahagiaan hanya sampai sejauh itu, karena batin berada di bawah pegaruh nafsu akan sesuatu yang bisa berubah. Setelah sejenak, kebahagiaan akan pergi, dan ketidakbahagiaan akan mengambil tempatnya – persis seperti ketika pencuri mendapatkan kamera Anda. Inilah kedamaian samadhi, kedamaian sementara dari meditasi keheningan.
Kita harus menilik ke dalam hal ini sedikit lebih mendalam. Apa pun yang kita miliki akan menjadi sumber duka ketika kita kehilangannya jika kita tidak sadar akan ketidaktetapannya. Jika kita menyadarinya, maka kita bisa menggunakan segala sesuatu tanpa terbebani oleh mereka.
Anda mungkin ingin menjalankan bisnis, dan Anda perlu mendapat pinjaman dari bank. Jika Anda tidak bisa mendapatkannya sekalipun dengan segenap upaya, Anda akan mendapatkan duka. Akhirnya bank mungkin setuju meminjamkan uang, dan Anda gembira. Kegembiraan Anda tidak akan bertahan selama berjam-jam – namun bunganya akan mulai menumpuk. Setelah beberapa lama, itu akan menjadi kekhawatiran Anda: apa pun yang Anda lakukan, bahkan meski cuma duduk di kursi santai Anda, mereka akan membebani Anda dengan bunga. Jadi ada duka karena ini. Sebelumnya, ada duka karena tidak mampu menemukan pinjaman. Ketika Anda dapat pinjaman, tampaknya Anda sudah mantap dan segalanya akan baik, tapi kemudian Anda mulai harus memikirkan mengenai bunga pinjaman, dan duka pun kembali datang.
Maka itu, Buddha mengajarkan untuk melihat ke saat kini dan melihat ketidaktetapan badan dan batin, dari semua fenomena tatkala mereka muncul dan lenyap, tanpa mencengkerami satu pun. Jika kita bisa melakukan ini, kita akan mengalami damai. Kedamaian ini mucul karena melepas; pelepasan muncul karena kebijaksanaan, kebijaksanaan yang datang dari pengamatan akan ketidaktetapan, duka, dan ketiadadirian, kebenaran pengalaman, dan menyaksikan kebenaran ini dalam batin kita sendiri.
Dengan berlatih seperti ini, kita terus menerus melihat dengan jernih dalam batin kita sendiri. Fenomena muncul dan lenyap. Lenyap, ada pemunculan baru; muncul, ada lenyap. Jika kita membentuk kelekatan terhadap apa yang terjadi, duka akan mucul tepat di sana. Jika kita melepas, duka tidak akan muncul. Kita melihat ini dalam batin kita sendiri.
Kita bisa mendapatkan kepastian sejati mengenai Dhamma ketika bermeditasi seperti ini, dan kita bisa sampai ke titik di mana segala yang harus kita lakukan adalah melihat batin kita pada saat kini. Kita melepas masa lalu dan masa depan, melihat pada masa kini, dan kita melihat ketiga ciri secara sinambung dan dalam segala hal. Berjalan, ada ketidaktetapan. Berdiri, ada ketidaktetapan. Duduk, ada ketidaktetapan. Itulah kebenaran hakiki dalam segala sesuatu. Jika Anda mencari kepastian atau ketatapan, Anda hanya bisa menemukannya dalam segala sesuatu dengan cara ini dan tidak mengubahnya ke cara yang lainnya. Ketika pandangan Anda menjadi matang seperti ini, Anda akan berada dalam damai.
Atau apa Anda pikir bahwa dengan pergi bermeditasi ke puncak gunung sunyi Anda akan memiliki kedamaian? Anda mungkin mendapat kedamaian sebentar. Namun ketika kerasnya kehidupan di sana mulai mengejar Anda, Anda akan mulai merasa lapar dan lelah. Lalu Anda turun gunung dan menuju  kota. Banyak makanan enak dan kenyamanan di sana. Namun kemudian Anda akan mulai berpikir bahwa itu mengganggu latihan Anda – lebih baik pergi ke suatu tempat terpencil.
Sunggguh, orang yang menderita ketika hidup sendirian adalah dungu. Orang yang menderita ketika hidup dengan orang lain adalah dungu. Itu seperti kotoran ayam: jika Anda membawanya ketika Anda sendirian, kotoran itu bau. Jika Anda membawanya ketika Anda di antara orang lain, kotoran itu juga bau. Anda membawa benda busuk bersama Anda.
Jika kita pintar, maka kita bisa hidup bersama banyak orang dan merasa bahwa itu bukanlah lingkungan yang damai, dan itu benar sampai batas tertentu; hidup bersama banyak orang bisa menjadi sebab untuk memperoleh kebijaksanaan. Saya mengembangkan sebagian kebijaksanaan dari memiliki banyak murid. Perumah-tangga datang dalam jumlah banyak, banyak bhikkhu datang ingin menjadi murid, dan tiap orang punya pandangan dan sifat masing-masing. Saya mengalami banyak hal yang berbeda, dan saya harus mampu menanagani situasi. Kapasitas kesabaran dan ketahanan saya menjadi kuat. Sampai ke batas saya bisa menanggungnya, dan saya masih mampu tetap berlatih. Pada saat itu semua pengalaman saya menjadi bermakna. Namun jika kita tidak mengerti dengan benar, tidak ada pemecahan. Hidup sendirian akan baik – sampai kita muak dengannya. Kemudian kita akan pikir lebih baik hidup dalam kelompok. Mendapat makanan sederhana tampaknya baik, dan kemudian mungkin mendapat banyak makanan tampaknya adalah jalan yang benar. Akan terus seperti ini kalau kita tidak bisa memahami batin kita sekali untuk selamanya.
Melihat bahwa segalanya tak dapat diandalkan, kita akan menyikapi semua situasi kekurangan atau kelimpahan sebagai tidak pasti dan tidak akan memiliki kelekatan terhadap mereka. Kita menaruh perhatian terhadap momen kini, di mana pun tubuh ini kebetulan berada. Lalu, berdiam akan jadi oke. Berpergian akan jadi oke. Semuanya akan jadi oke, karena kita fokus pada praktik mengenali segala sesuatu sebagaimana adanya.
Orang-orang bilang, “Ajahn Chah hanya bicara mengenai “tidak pasti”.” Mereka muak mendengar ini, dan merkea kabur dari saya. “Kami pergi mendengarkan Ajahn Chah mengajar, tapi semua yang ia katakan hanya mengenai “tidak pasti”.” Mereka tak tahan lagi mendengar hal kuno yang sama melulu, maka mereka pergi. Saya kira mereka akan pergi mencari suatu tempat di mana segalanya akan pasti. Namun mereka kembali.


Sumber : Ini Pun Akan Berlalu - Ajahn Chah

Sabtu, 17 Agustus 2013

Perbuatan Baik Pasti Berguna - Memulangkan Dompet, Membawa Pahala yang Tak Terduga


Apa yang Anda lakukan apabila menemukan dompet orang lain? Bila didalamnya terdapat identitas, kita bisa menghubungi pemilik dompet, atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib.

Dan hal apa yang kita lakukan apabila kehilangan dompet, kita pasti datang lagi ke tempat yang sekiranya tadi kita lewati, berharap mendapatkan kembali dompet kita yang hilang.

Dikisahkan pada dinasti Ming dimasa Jiajing, di kota Jiangsu Wujiang ada seorang pria yang bernama Si Fu dan istrinya. Pasangan suami-istri ini mempunyai dua mesin pembuat kain sutra, sehingga mereka mengandalkan mesin ini sebagai pendapatan mereka. 

Pada suatu hari Si Fu dalam perjalanan pulang setelah menjual sutra, ditengah perjalanan dia menemukan sebuah dompet kecil yang didalamnya hanya ada sedikit uang. Didalam hatinya dia berpikir, “Uang ini pasti milik pengusaha kecil dan seluruh keluarganya pasti mengandalkan uang ini, jika uang ini hilang pasti mereka akan menderita.”

Oleh sebab itu dia berhenti ditempat ini untuk menunggu pemiliknya datang mencari, setelah seharian menunggu dan menahan lapar akhirnya pemiliknya datang. Pemiliknya adalah seorang pemuda, setelah menyelidiki dan memastikan dompet tersebut miliknya Si Fu mengembalikan kepadanya. 

Pemuda ini sangat berterima kasih, sehingga dia mengambil separuh dari uang tersebut untuk diberikan kepada Si Fu sebagai imbalan. Tapi Si Fu menolak menerima uang itu, pemuda itu lalu memberi buah dan mengundang Si Fu untuk makan, tetapi Si Fu tetap menolaknya. Setelah mengucapkan terima kasih, tanpa menyebut namanya Si Fu pun pergi. 

Setelah sampai di rumah dia menceritakan hal ini kepada istrinya, istrinya berkata, “Sungguh suatu perbuatan terpuji.” Suami istri ini bukan bahagia mendapatkan dompet itu, tapi merasa bergembira karena dapat mengembalikan dompet itu kepada pemiliknya.

Sejak saat itu, Si Fu setiap tahun memelihara ulat sutra selalu mendapatkan untung, tetapi pada suatu tahun di kota mereka tidak ada daun murbei untuk makan ulat sutranya. Beberapa penduduk kota mereka berunding untuk naik perahu, menyeberangi danau ke kota lain untuk membeli daun murbei. 

Ketika mereka sedang berada dalam perahu dan belum sampai ke tempat tujuan, hari telah mulai gelap. Mereka lalu mencari pantai terdekat untuk berhenti dan memasak makan malam. Si Fu naik ke daratan untuk mencari kayu bakar, dalam perjalanannya dia bertemu dengan pemuda yang dahulu kehilangan dompetnya. 

Pemuda yang bernama Zhu En itu memanggil Si Fu, mereka berdua lalu mengobrol. Si Fu berkata, “Karena kami kekurangan daun Murbei, maka harus pergi mencari ke kota lain.” 

Zhu En berkata, “Daun murbei di taman saya sangat banyak, tidak habis dipakai sendiri, jika Anda mau ambil saja, murbei ini sepertinya memang tumbuh untuk Anda. Dan pertemuan kita berdua juga memang sudah takdir.” Mereka berdua akhirnya seperti dua bersaudara.

Istri Zhu En menyediakan makan malam untuk menjamu penolong mereka, dia bermaksud untuk memotong ayam sebagai lauk, tetapi Si Fu berkata, “Makan sayur saja sudah cukup, jangan membunuh ayam tersebut !” Si Fu melarang istri Zhu En memotong ayam.

Zhu En menyiapkan tempat tidur bagi Si Fu bermalam dengan membuka pintu rumahnya sebagai papan tempat tidur dengan disanggah oleh dua buah kursi. Pada malam hari, tiba-tiba Si Fu mendengar suara ayam yang menjerit. Oleh sebab itu dia bergegas bangun untuk melihat apa yang terjadi, begitu dia bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar dia mendengar suara yang sangat keras, seperti suara benda keras yang terjatuh. 

Zhu En terbangun mendengar suara keras itu, dia bergegas memasang lampu dan dia melihat pintu yang dibuat tempat tidur untuk Si Fu telah hancur, kursi berserakan, rupanya ada lemari besar tua setinggi langit-langit yang ternyata kakinya rapuh jatuh menimpa tempat tidur tersebut.

Si Fu menyuruh mereka jangan memotong ayam tersebut, akhirnya ayam tersebut yang membalas budi untuk menyelamatkan nyawanya.

Sejak saat itu, Si Fu dan istrinya semakin giat membantu orang lain dan beramal, perbuatan apa saja yang bisa membantu orang lain pasti mereka lakukan. Tidak sampai 10 tahun usaha mereka semakin maju, mereka semakin kaya dan semakin banyak membantu orang lain.

Rabu, 31 Juli 2013

Profesional yang Tidak Lupa Diri

Seorang ahli ukir (A) mendapat perintah dari penguasa setempat ntuk membuat rupang Buddha dari batu setinggi 6 meter untuk dijadikan tugu perbatasan kota. A merasa senang dan bangga mendapat tugas ini. Ia bersama teamnya bekerja dengan tekun selama 2 tahun.

Seminggu sebelum peresmian penguasa beserta pejabat lainnya mengadakan peninjauan lapangan. Penguasa berkata, “Bagus, hanya saja hidungnya kurang turun dan harus diperbaiki.” A tersenyum dan mengangguk. Ia naik ke atas menuju hidung rupang Buddha terseut. Dari bawah tampak bubuk-bubuk batu bertebaran. Tidak lama kemudian ia turun. Penguasa berkata dengan kagum, “Luar biasa bagus. Engkau mengikuti petunjukku, rupang ini menjadi luar biasa.”

Peresmian berjalan dengan lancar dan bai,. Penguasa bangga sekali, dalam kata sambutan ia mengatakan bahwa seminggu yang lalu rupang ini kurang bagus. Mendengar hal itu A hanya tersenyum, karena pada kenyataannya tidak ada bagian dari rupang Buddha itu yang diubahnya. Ia naik ke atas dengan membawa bubuk batu, dan perlahan-lahan bubuk batu itu dibuang ke bawah.

Teman-teman se-Dharma, Anda mungkin pernah pula mengalami kondisi seperti A. Meskipun Anda ahli, ketika mendapat teguran dari pimpinan, Anda tidak perlu lupa diri dan berdebat, juga tidak perlu terpengaruh. Dapat dibayangkan, bila saat itu A melawan penguasa dihadapan banyak orang, tentu penguasa akan tersinggung dan tidak senang, suasana akan menjadi tidak enak, urusan menjadi tidak berhasil dengan baik. Karya manusia yang utama adalah hasil yang optimal, bukan? Tentu cara mendapatkannya tidak boleh jaha. Apakah dengan demikian A telah berbohong? Yang tahu hanya ia dan karmanya.

Buddha mengajarkan untuk melenyapkan avidya/kebodohan. Hidup itu nyata, ada yang menentukan dan ada yang ditentukan. Orang yang ingin sukses, ia haus pandai memahami situasi dan kondisi yang dihadapi: menghadapi situasi yang tidak menyenangkan tidak mengumar emosi, tidak jahat dan tidak bertindak yang merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Bertindaklah yang cerdas dalam situasi apapun, jadikanlah Buddha Dharma sebagai pelita hidupmu. Omitofo.

Sumber : Pencerahan Batin

Karya : Y.A Maha Bhiksu Dutavira Sthavira

Jumat, 14 Juni 2013

Memberi Lebih Dulu


Seorang pria paruh baya mempunyai sebuah toko makanan ternak yang tidak begitu laku. Makin hari makin sedikit orang-orang yang membeli makanan ternak

Dalam keputusasaanya, pria tersebut mendapat ide gila yaitu menginvestasikan 50 dolar (uang yang cukup banyak pada zaman itu) untuk membeli 1000 ekor anak ayam. Para tetangganya langsung mengejek dan menganggap pria itu gila. Jual makanan ayam saja tidak bisa, apalagi jual anak ayam. Mereka lebih heran lagi ketika tahu bahwa pria ini tidak menjual anak ayam tersebut. Sebaliknya ia memberikan anak-anak ayam tersebut secara GRATIS kepada pembeli makanan ternaknya.

Benar-benar Gila! mereka berpikir, tokonya mau bangkrut, malah beli banyak anak ayam, lalu membagi-bagikan anak ayam tersebut secara gratis. Mana ada pebisnis waras yang melakukan hal seperti itu? Nyatanya, setelah ada program gratis anak ayam tersebut, mulai banyak orang membeli ditokonya.

Semakin hari ternyata tokonya semakin laris saja. Setelah diselidiki ternyata pembeli yang menerima anak ayam gratis itu kembali lagi. mengapa bisa demikian? Tentu saja mereka beli makanan ayam untuk anak ayam gratisan itu.

Apa pesan moral dari cerita tersebut diatas ?

Jangan pernah takut untuk memberi karena memberi adalah langkah pertama untuk kita menerima. Sayangnya banyak orang selalu berpikir yang sebaliknya menerima dulu, baru berpikir untuk memberi. Ini yang membuat kita tidak mengalami terobosan apa-apa dalam hidup ini.

Mana ada petani yang mengharapkan untuk menuai padahal ia tdk pernah menabur sebelumnya? Selama ada kesempatan, jadilah orang yang murah hati, beri kebaikan, beri perhatian, beri, dan beri. Jangan hanya Beri jika ada keuntungan saja untuk kita. Ingatlah bahwa hidup ini seperti Gema. Apa yang kita keluarkan akan kembali lagi kepada kita. Apa yang kita berikan akan kita dapatkan kembali, bahkan berkali kali lipat dari apa yang kita berikan.

Mari selalu melakukan kebaikan, jauhkan rasa iri hati, menabur yg baik tentu akan menuai kebaikan. Selamat memberi !

Sumber : Sumber - SL.Book

Hargai yang Kau Miliki

Hallo pembaca semua :)

Sudah lama sepertinya saya tidak mengepost tulisan di blog ini di karenakan berbagai kegiatan sehari-hari lengkap dengan segala permasalahannya yang mewarnai kehidupan ini. Beberapa hari yang lalu sempat jatuh sakit juga dan aku baru sadar kalau sehat itu emang segalanya. Sebab saat sakit mau mengerjakan apapun pasti gak semangat dan malas. Coba bayangkan kegiatan sehari-hari tanpa sakit aja sudah malas ditambah sakit rasanya jadi tambah malas.

Setidaknya saat sehat kita bisa melewati semua kegiatan sehari-hari kita dengan perasaan yang lebih nyaman, gak lemes terus bawaannya. Apalagi kalau kita bisa bersyukur atas apa yang ada segala sesuatu bisa terasa jauh lebih baik lagi. Walau gak mudah memang untuk selalu melihat dari sisi yang baik saja. Lagi pula saat sakit mungkin kita memang sudah terlalu lelah dan perlu sedikit memelankan langkah kita sejenak untuk beristirahat sekaligus mereview apa yang sudah kita kerjakan.

So kawan-kawan semua harus jaga kesehatan apalagi di musim yang berubah-ubah dan gak menentu ini.

Ayooo semangat lagi semangat-semangat :)

Aku tahu aku sendiri juga gak selalu semangat mungkin kadang ada yang mikir, sok banget sih aku ini kayak ngajar-ngajarin orang, tapi gak gitu kok maksudnya. Aku bilang semangat soalnya kan kalau kita semangatin orang lain kita sendiri harus semangat juga jadi aku bisa ikutan semangat. Hanya ingin sama-sama belajar dan berusaha menjadi lebih baik di setiap hari yang telah kita lewati.

Semangat selalu. 

^^

Jumat, 24 Mei 2013

Semua Ingin Bahagia



Memang ada perbedaan antara seseorang dengan orang lain. Beda adat, beda strata social, beda agama, beda keturunan, dan sebagainya. Dan perbedaan itu kadang-kadang dijadikan “peluru” untuk bertengkar. Sesungguhnya perbedaan itu tidak mendasar, karena yang melihat perbedaan itu hanyalah mata daging kita ini. Tetapi bila kita melihat dengan mata hati, melihat dengan pegetahuan yang mendalam, justru perbedaan itu tidak mempunyai alasan yang kuat.

Di antara mereka yang  berbeda agama, berbeda kepercayaan, bahkan mungkin yang merasa tidak mempunyai agama, semuanya tidak ada yang ingin menderita, semua ingin hidup bahagia, ingin mencapai kehidupan yang lebih baik. Bukankah demikian? Siapa pun yang berkelebihan atau berkekurangan, beragama A atau beragama B, siapakah diantaranya yang ingin menderita? Semua menolak penderitaan dan menginginkan hidup yang lebih baik.

Bahkan bila kita berpikir lebih luas, binatang-binatang sekalipun tidak ingin menderita. Binatang-binatang juga ingin menghindari penderitaan dan mencari hidup yang enak. Hanya saja beda antara manusia dengan binatang: binatang mencari hidup yang enak dengan sederhana, sedangkan manusia bisa mencari hidup yang lebih baik, lebih bahagia, lebih berkualitas, dan lebih berharga dengan jangkauan lebih luas.
 
Sumber : Bersahabat Dengan Kehidupan – Memaknai Dengan Kearifan
Oleh : Bhikkhu Sri Pannyavaro