Pada umumnya aku tak
dapat menerima atau percaya mukjizat-mukjizat yang belum kusaksikan sendiri. Di
samping itu aku sebenarnya tidak pernah percaya occultisme atau astrologi.
Kalau ada orang yang membicarakan hal ini, pada umumnya aku hanya menganggukkan
kepala saja dan berkata “ya” atau “tidak”, sekedar untuk jangan membuat mereka
tersinggung. Tetapi peristiwa yang akan kuceritakan di bawah ini benar-benar
terjadi kepada diriku sendiri. Kalau Anda nanti tidak percaya, aku pun tidak
akan merasa tersinggung, karena pada mulanya aku sendiripun tidak percaya.
Namun kalau sekiranya peristiwa yang akan kuceritakan dibawah ini membuat Anda
lebih mempunyai rasa perikemanusiaan dan manis budi terhadap masyarakat di
sekeliling Anda, maka hal itu membuat saya gembira sekali, karena pengalamanku
telah membuat beberapa diantara saudara menjadi bahagia.
Cerita ini dimulai
beberapa bulan sebelum pecah perang Pasifik. Aku sedang membaca sebuah harian
dan istriku masuk ke dalam rumah setelah memberi dana kepada para Bhikkhu. Ia
langsung menghampiriku dengan tergesa-gesa. Setelah duduk di sebelahku, ia
berkata: “Suamiku sayang, apakah kau tahu bahwa Yai Plag dan Tan Ma, tukang
kebun yang tinggal di belakang rumah kita telah beruntung sekali? Mereka telah
mendapat hadiah pertama dari lotre.”
Tanpa berpaling aku
menjawab dengan singkat: “Ah, aku rasa
itu memang sudah menjadi rezeki mereka.”
Istriku agak kecewa
karena aku tidak begitu perhatian terhadap berita tersebut. Ia kemudian
berkata: “Aku rasa itu bukan semata-mata rezeki, sayang.”
“Kalau bukan rezeki,
lalu apa?” jawabku sambil terus membaca surat kabar.
“Duduk persoalannya
sebenarnya begini.”, kata istriku sambil terus berusaha untuk menarik
perhatianku. Orang mengatakan, bahwa ada seorang Bhikku bernama Tan Achan Pak
Kow, baru datang dari daerah pegunungan di Utara, menginap di kuil Tan Maha,
yaitu Bhante yang setiap hari kita bawakan makanan. Beliau telah meramalkan
rezeki Yai Plag dan Tan Ma pada hari raya lalu. Diceritakan, bahwa Yai Plag dan
Tan Ma pergi ke vihara dan mengeluh karena penghidupannya sengsara. Kemudian
Tan Achan begitu baik hati untuk memeriksa nasib mereka dan meramalkan, bahwa
dalam waktu satu minggu pasangan itu akan mendapat rezeki yang besar. Beliau
juga memberi kepastian, bahwa mereka selanjutnya akan hidup beruntung. Hari ini
genap seminggu dan pasangan itu benar-benar telah mendapat rezeki besar seperti
yang telah diramalkan. Sungguh mengherankan sekali!”
Istriku memandang
wajahku dan mencoba menerka apakah aku menaruh perhatian atau tidak terhadap
ceritanya. Kutahu, bahwa ia ingin sekali meyakinkan aku agar percaya kepada
ramalan nasib. Tetapi memang sudah menjadi watakku, untuk tidak mau percaya
begitu saja tanpa ada bukti yang meyakinkan. Tetapi untuk tidak membuatnya
kecewa aku lalu menjawab: “Aduh, tepat benar dan apakah kamu tahu apa yang akan
dilakukannya sekarang? Mereka mungkin akan membeli sebuah rumah yang mungil dan
hidup sebagai orang kaya.”
Istriku tidak menaruh
perhatian terhadap kalimatku dan melanjutkan: “Sayang, aku ingin mengajakmu
menjumpai Achan Pa Kow, karena akhir-akhir ini aku sering mendapat mimpi
buruk.”
“Janganlah terlalu
percaya kepada mimpi buruk, karena ini akan menimbulkan kekhawatiran yang tidak
perlu. Kamu harus tahu, kalau kita banyak tidur kitapun akan banyak mimpi”,
kataku sambil menghiburnya.
Tetapi, rupanya hal ini
tidak berhasil, karena ia tetap menghendaki agar aku pergi menemui Tan Achan
untuk meramalkan nasibku. Ketika aku melihat wajahnya yang agak sedih, aku merasa kasihan sekali. Rupanya ia begitu
khawatir. Biarpun dalam hati kecilku aku tidak begitu percaya, tetapi untuk
menghiburnya aku akhirnya setuju untuk pergi menemui Tan Achan. Hal ini
kulakukan untuk mengusir rasa kekhawatiran dari hati istriku.
Kemudian kami langsung
berangkat menuju vihara di mana Tan Achan menginap yang kebetulan memang tidak
jauh dari rumah kami.
Tiba di vihara kami
diberi tahu, bahwa Tan Achan sedang keluar, yaitu dijemput oleh seorang yang
tinggi kedudukannya. Tempat itu sudah penuh sesak oleh orang-orang yang juga sedang
menunggu kedatangan Tan Achan. Mungkin hal ini disebabkan, karena ramalannya
yang tepat telah tersiar luas di antara penduduk kota.
Sambil menunggu
kedatangan Tan Achan, aku mecoba-coba untuk menggambarkan bagaimana rupa dan
pribadi Tan Achan tersebut. Aku menggambarkan beliau sebagai orang yang sudah
lanjut usianya, kalau berjalan harus memakai tongkat, tangannya memegang biji
tasbih sedangkan mulutnya tak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa.
Kami duduk mengobrol
dengan Tan Maha mengenai berbagai persoalan sambil menantikan kembalinya Tan
Achan. Setelah Tan Achan tiba kembali, Tan Maha lalu memperkenalkan kami
sebagai kenalan baik beliau dan kami lalu memberi hormat kepada Tan Achan
dengan berlutut tiga kali. Aku merasa malu karena apa yang kugambarkan tentang
beliau ternyata meleset sama sekali. Kenyataannya beliau orang yang masih muda
dan gagah sedangkan wajahnya dihiasi dengan senyuman yang menyenangkan. Beliau
kelihatannya sabar sekali dan kami merasa seolah-olah terkena getaran halus
yang menyenangkan yang membuat kami merasa tenang dan bahagia. Hal ini
memperkuat keyakinan kami terhadap diri beliau.
Tamu-tamu yang telah
menunggu sebelum kami tiba, secara bergiliran menghampiri Tan Achan dan mohon
diberi perlindungan dan lain sebagainya. Setelah ditolong keperluannya maka
pulanglah mereka ke rumah masing-masing, sehingga akhirnya hanya kami berdua
suami-istri yang berada di ruangan itu. Tanpa ragu-ragu istriku memohon kepada
beliau untuk memeriksa nasibku. Meskipun
hal ini membuat hatiku sedikit tidak enak namun aku diam saja.
Tan Achan duduk
bersimpuh, merapatkan kedua tangannya di dada dan menutup matanya untuk
beberapa menit lamanya. Kemudian ia membuka matanya dan berkata: “Nyonya, suami
nyonya sebenarnya tidak senang diperiksa nasibnya.”
Aku agak heran
mendengar kata-kata itu, karena aku tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa aku
kurang senang, tetapi Tan Achan secara tepat mengetahui perasaanku. Aku
bertanya-tanya dalam diriku, alangkah luar biasa daya tangkap Tan Achan, sehingga
dari mata, air muka atau salah satu sikapku beliau dapat mengetahui apa yang
sedang kupikirkan.
Sewaktu aku sedang
keheran-heranan, aku mendengar istriku berkata kembali: “Bhante, saya telah
berketetapan hati untuk memohon dengan sangat agar nasib kami dapat
diberitahukan dan kami harap jangan sampai dikecewakan.”
Tan Achan kembali
menutup matanya untuk beberapa waktu lamanya dan setelah ia membuka matanya, ia
nampaknya seperti orang yang bersusah hati. Dengan perlahan ia membalikkan
badannya, sehingga dapat menatap mataku dengan tajam. Kemudian dengan
sungguh-sungguh ia berkata: “Aku sebenarnya tidak senang untuk memberitahukan
jalan hidupmu, karena dalam satu dua tahun ini kamu akan mendapat kecelakaan
yang mengerikan. Aku tidak akan memberitahukan kecelakaan apa, karena hal ini
akan membuatmu gelisah. Sekarang segala sesuatunya berjalan baik, tetapi lain
tahun dan tahun setelah itu kamu harus berhati-hati.”
“Bhante, mohon
diberitahukan bagaimana akibat dari kecelakaan itu? Saya rasa saya cukup tabah mendengarnya”,
tanyaku dengan perasaan ingin tahu.
Untuk beberapa waktu
lamanya Tan Achan diam seperti sedang bermeditasi dan aku merasa seolah-olah
beliau tidak dapat mengambil keputusan. Akhirnya ia berkata: “Kamu ditakdirkan
untuk mati secara mengerikan sekali tanpa ada orang yang tahu.”
Kata-kata ini membuat
seluruh tubuhku terasa gemetar, karena tidak kuduga akan mendengar kata-kata
yang begitu menyeramkan.
Biasanya aku selalu
tenang dan tidak takut kepada bahaya atau kecelakaan yang mungkin menimpa
diriku. Setelah mendengar ramalan itu aku masih belum yakin bahwa apa yang
diramalkan itu betul-betul akan terjadi. Meskipun aku tidak kaya raya, tetapi
aku tidak kekurangan suatu apa, lagipula aku masih didampingi oleh seorang
istri yang sangat mencintai dan kucintai.
Bagaimana aku dapat
percaya, bahwa dalam waktu dekat aku akan menemui ajalku secara mengerikan dan
tanpa ada yang tahu, padahal aku selalu didampingi istriku yang setia.
Waktu istriku mendengar
kata-kata Tan Achan, ia mendadak menjadi gelisah dan kelihatan sedih sekali.
Lalu ia bertanya: “Bhante, apakah ada jalan yang dapat mengubah nasib suamiku
menjadi baik? Saya mohon dengan sangat supaya diberitahukan.”
Tan Achan lalu
menjelaskan, bahwa upacara untuk mengubah nasib seseorang hanya dapat membantu
agar orang merasa lebih baik, tetapi sebenarnya tidak dapat menolong apa-apa,
sebab segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan karma (perbuatan) kita
masing-masing.
Ada orang yang merasa
heran mengapa ia tertimpa kemalangan, padahal menurut pemikirannya dalam
kehidupan ini ia selalu berbuat baik. Hal ini disebabkan oleh
perbuatan-perbuatannya yang buruk di kehidupan yang lampau yang sedang berbuah
di kehidupan sekarang ini. Mereka harus membayar untuk perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya.
Jalan penghidupan
bukanlah semata-mata merupakan jalan di dalam taman dengan
pemandangan-pemandangan yang indah permai saja. Sebelum tiba di tempat tujuan,
seringkali kita harus melalui tempat yang tidak menyenangkan dan sewaktu-waktu
mungkin bertemu dengan hutan yang mengerikan. Beliau melanjutkan, bahwa untuk
mengubah nasib sebenarnya tergantung dari diri kita sendiri. Kita harus berusaha
untuk membebaskan diri dari perasaan benci, iri hati, loba dan pikiran yang
selalu ingin mementingkan diri sendiri saja. Waktu menyatakan ini Tan Achan
tertawa dan wajahnya kelihatan bersinar.
Setelah itu ia berkata
kepada istriku: “mengenai nasib nyonya, dalam waktu enam bulan dari sekarang
nyonya akan kehilangan seseorang dari lingkungan rumah tangga dan tidak lama
setelah itu nyonya akan kehilangan barang-barang berharga.”
Aku mendengarkan semua
ini dengan perasaan tidak menentu dan aku sama sekali tidak menduga, bahkan
memimpikan pun tidak, bahwa apa yang diucapkan Tan Achan kelak benar-benar
terbukti.
Kira-kira enam bulan
setelah kami mengunjungi Tan Achan, supir kami yang sudah lama bekerja,
tiba-tiba diserang penyakit dan tidak tertolong lagi. Kami berdua merasa sedih
sekali dengan kepergiannya, karena ia supir yang jujur dan setia.
Setelah ia diperabukan,
aku teringat apa yang telah diramalkan oleh Tan Achan. Ramalan yang pertama
sekarang telah terbukti. Meskipun untuk pertama kalinya aku memperoleh bukti
yang nyata, namun aku masih berpikir bahwa ini hanya kebetulan.
Tidak lama setelah
supir tua kami meninggal dunia, kami mempekerjakan seorang supir baru yang
masih muda usianya. Setelah bekerja selama beberapa bulan, istriku kehilangan
perhiasan beserta petinya.
Kami yakin, bahwa
pencurinya pastilah salah satu dari orang yang bekerja di rumah kami. Semua
pelayan adalah pelayan tua yang sudah bekerja pada kami untuk waktu yang lama
dan telah terbukti kejujurannya, kecuali supir kami yang baru mulai bekerja.
Istriku sama sekali
tidak kelihatan kesal atas kehilangan barang-barang perhiasannya dan aku
menarik kesimpulan, bahwa ia tahu cepat atau lambat ia pasti akan kecurian. Ia
mengatakan, bahwa barang perhiasan dan emas adalah benda dunia yang dapat
dicari gantinya. Lagipula ia telah diperingati oleh Tan Achan dan ini turut
mempengaruhi ia tidak begitu memikirkan barang-barang tersebut. Tetapi aku
merasa ia sebenarnya lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi atas diriku.
Setelah dua peristiwa terjadi sesuai dengan apa yang telah diramalkan, istriku
menjadi gelisah dan takut bahwa ramalan mengenai diriku kelak pun akan
benar-benar terbukti.
Sekarang aku harus
menyetir sendiri dan istriku tentu saja semakin merasa khawatir sehingga ia
hanya memperbolehkan aku menyetir mobil kalau hal itu benar-benar perlu sekali.
Pada suatu hari ketika
aku sedang mengendarai mobil di suatu jalan di Bangkok, dari jauh kulihat
sebuah mobil hitam sedang berusaha menghidari tabrakan dengan sebuah becak,
tetapi sangat menyedihkan sekali sebagai gantinya ia lalu menabrak seorang
pejalan kaki.
Orang yang tertabrak
itu sedang memikul barang dagangannya berupa kue-kue dan gula-gula, karena
tertabrak maka kue-kue dan gula-gula itu terjatuh di jalan. Supir yang
menabraknya tidak berhenti, sebaliknya ia malahan menancap gas untuk secepat
mungkin menyingkir dari tempat tersebut. Pada saat itu memang masih belum
begitu ramai dan waktu kecelakaan terjadi juga tidak ada mobil polisi, sehingga
mobil tersebut dengan mudah menghilang. Ketika aku tiba di tempat terjadinya
kecelakaan, aku menghentikan mobilku untuk melihat bagaimana keadaan orang yang
tertabrak itu.
Si pedagang pikulan
merupakan seorang wanita tua berumur lebih dari enam puluh tahun, dengan susah
payah ia mencoba bangun. Melihat hal tersebut aku segera datang untuk
membantunya. Untunglah orang tua tersebut tidak mendapat luka berat. Beberapa
orang yang kebetulan lewat membantu mengumpulkan kue dan gula-gula yang telah
berserakkan. Aku sendiri pun membantu untuk mengumpulkannya. Kasihan sekali
wanita tua itu, sebab orang yang sudah demikian lanjut usia selayaknya berdiam
di rumah atau menjaga cucunya dan bukan berjualan keliling dengan memikul
keranjang yang berat.
“Nenek, apakah kau
terluka?” aku bertanya.
“Untung tidak apa-apa
tuan”, jawabnya. “Saya hanya sakit di sana-sini.”
“Dimana rumah nenek?
Aku akan mengantarkanmu pulang ke rumah.”
Setelah ia
memberitahukan alamat rumahnya, aku persilakan ia untuk naik ke mobil. Tetapi
ia kelihatan ragu-ragu, sehingga aku perlu menaruh dahulu keranjang dan
pikulannya ke dalam mobil. Wanita tua itu merangkapkan kedua tangannya di depan
dada dan dengan suara terharu ia berkata: “Oh, tuan sungguh baik sekali. Bukan
tuan yang menabrak saya, tetapi justru tuanlah yang menolong saya, sedangkan
orang yang menabrak saya telah kabur. Tetapi saya tidak marah kepada orang itu,
karena kita tidak mungkin dapat menghindari nasib.”
Aku terperanjat ketika
mendengar bahwa nasib tidak dapat diubah. Lalu aku teringat mengenai ramalan
Tan Achan dan pada saat itu pula aku mengambil keputusan, bahwa sebelum aku
meninggal dunia aku ingin melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak mungkin
yang akan membuat orang-orang yang sedang menderita menjadi bahagia.
“Nenek, mengapa engkau
sendiri yang harus pergi berdagang? Apakah engkau tidak mempunyai anak atau
cucu?”
“Sebenarnya saya
mempunyai anak dan cucu”, jawabnya
“Saya tinggal
bersama-sama dengan menantu dan tiga orang cucu, tetapi pada waktu ini
menantuku sedang sakit dan saya harus menggantikannya berdagang.”
Sebelum membawanya
pulang ke rumah, aku terlebih dahulu singgah di sebuah klinik di mana aku
meminta kepada dokter jaga yang kebetulan kenalan baikku, untuk memeriksa luka
dari nenek itu. Setelah luka-lukanya diberi obat aku lalu menuju ke alamat
rumah nenek tersebut.
Kuhentikan mobilku di
muka sebuah lorong yang sempit dan membantunya keluar dari mobil. Orang-orang
di lingkungan tempat tinggalnya datang berkerumun dan bertanya apa yang
sebenarnya terjadi. Apakan mobilku yang telah menabraknya. Sebelum aku sempat
menjawab, nenek itu memdahuluiku: “Oh, bukan tuan ini yang telah menabrakku,
orang lain yang telah menabrakku, tetapi ia lantas melarikan kendaraannya.
Sedangkan tuan ini begitu berbaik hati mau menolongku.”
Aku membuka pintu
belakang mobil dan mengeluarkan barang dagangan si nenek yang segera disambut
oleh orang banyak untuk kemudian dibawa ke rumah nenek tersebut, sedangkan yang
lain lagi berjalan sambil menuntun si nenek.
Kuikuti mereka sampai
di ujung lorong, di mana terlihat jembatan kecil yang terdiri dari dua helai
papan melintasi sebuah selokan yang airnya hitam dan penuh sarang nyamuk.
Di kanan dan kiri
lorong sejauh mata memandang hanya kotoran saja yang terlihat. Dalam hidupku
belum pernah aku pergi ke tempat semacam itu.
Sekarang kami tiba di
pondok si nenek dan ia mempersilakan aku masuk ke pondoknya. Aku demikian
tenggelam dalam lamunanku memikirkan penderitaan orang-orang ini, sehingga aku
tidak mendengar beberapa orang anak memberi hormat kepada nenek mereka.
Aku masuk ke dalam
gubuk dan melihat sekelilingku. Tidak ada apa-apa yang dapat dikatakan
berharga, sebab semuanya serba usang. Nenek itu menarik keluar sebuah peti
bekas, membersihkannya dengan sehelai lap dan mempersilakan aku untuk duduk.
Aku lantas duduk dan
tidak memikirkan apakah celanaku akan menjadi kotor atau tidak. Waktu aku
sedang melihat-lihat bagian dalam gubuk itu terlihat seorang wanita muda yang
sedang tertidur di balik kelambu dan tubuhnya ditutupi oleh selembar selimut
yang sudah usang. Di sampingnya duduk dua orang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan, anak perempuan itu mengenakan baju dari bahan yang murah, sedangkan
anak laki-laki itu tidak berpakaian. Nenek lalu memerintahkan anak laki-laki
itu untuk berpakaian. Kemudian mereka bertiga diperintahkan untuk memberi
hormat kepadaku.
Wanita muda yang sakit
itu pun berusaha untuk bangun, tetapi aku mengatakan kepadanya agar terus saja
tidur. Sebab dari wajahnya terlihat jelas, bahwa ia sedang diserang demam.
“Tuan, wanita itu
menantuku”, kata si nenek. “Ia sudah tujuh hari sakit dan anak-anak itu adalah
cucuku. Saya tidak tahu bagaimana harus memberi mereka makan. Karena itu saya
berusaha untuk membeli gula-gula dan menjualnya kembali. Dari keuntungan yang
tidak seberapa itu saya belikan beras dan sayur untuk kita makan bersama.”
Saya menanyakan apa
pekerjaan anaknya. Ia menjawab: “Dulu anak saya bekerja sebagai supir, tetapi
sejak beberapa bulan ini ia tidak pernah pulang ke rumah. Ada orang yang
mengatakan, bahwa ia bekerja di daerah Bankapi, tetapi ada orang lain lagi
mengatakan, bahwa ia sekarang sedang berada di penjara. Bagi kami, apakah ia
pulang atau tidak sama saja, sebab ia tidak pernah memberi kami uang.”
Kemudian aku bertanya
apakah menantunya sudah diperiksa oleh dokter. “Dari mana saya punya uang,
tuan, untuk membawa ia ke dokter. Saya telah meramukan jamu agar panasnya
turun. Apalagi yang dapat saya lakukan? Kami miskin sekali, sehingga sulit
untuk dapat membeli makanan untuk sekian banyak mulut.”
Saya merasa kasihan
sekali dan berniat untuk menolong keluarga tersebut. Kepada nenek itu aku
mengatakan: “Nenek, sekarang aku akan panggilkan dokter. Engkau tidak perlu
khawatir tentang biayanya. Aku tidak mengharapkan balas jasa apapun dari apa
yang akan aku lakukan. Hal ini aku lakukan semata-mata karena terdorong oleh
perasaan perikemanusiaan.” Kemudian aku selipkan beberapa lembar uang ke tangan
si nenek sambil berkata: “Terimalah uang ini, nek dan pergilah membeli beberapa
helai pakaian untuk cucumu dan makanan yang dapat menyegarkan menantumu.”
Aku lalu berdiri dan
ingin meninggalkan tempat itu secepat mungkin, karena aku tidak ingin mendengar
ucapan terima kasihnya. Tetapi nenek itu dengan air mata yang berlinang-linang
meyusulku sambil menangis. Dengan tersendat-sendat ia berkata: “Oh, tuan! Sang
Buddha akhirnya menaruh belas kasihan kepada saya. Saya begitu bahagia,
sehingga saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Tuan telah memberikan
saya uang demikian banyaknya, sehingga melebihi keuntungan berjualan gula-gula
selama beberapa tahun lamanya. Hari ini saya benar-benar sudah putus asa,
karena beras dan bahan bakar sudah habis sedangkan uang tidak ada. Sewa rumah
sudah lama tidak saya bayarkan. Hampir saja saya tidak percaya tentang apa yang
telah terjadi. Bagaikan impian yang indah saja.”
Sebenarnya uang yang
kuberikan itu tidaklah begitu besar jumlahnya, tetapi bagi orang yang sangat
miskin seperti nenek itu yang hampir tidak makan tentu saja jumlah itu
merupakan jumlah yang sangat besar.
Aku menjemput seorang
kawan yang menjadi dokter untuk memeriksa menantu nenek yang sakit itu. Setelah
diperiksa kawanku mengatakan ia menderita penyakit malaria dan memberikan
suntikan serta obat untuk dimakan. Kawanku agak heran, karena ia sama sekali
tidak mengira bahwa aku akan membawanya ke gubuk seperti itu. Baru setelah aku
memberikan penjelasan ia mengerti dan juga turut bergembira.
Hari itu aku pulang ke
rumah dengan hati yang senang dan bahagia. Setelah aku ceritakan peristiwa di
atas kepada istriku, iapun turut bergembira.
Setelah kejadian di
atas, pernah beberapa kali aku bertamu ke rumah si nenek dan sedapat mungkin
aku berusaha untuk menolong keluarga yang malang itu. Sekarang tampak banyak
perubahan di rumah nenek itu. Cucu- cucunya sekarang memakai pakaian yang agak
bersih dan rumahnya juga kelihatan lebih bersih dan terurus. Tentu saja hal
tersebut membuat aku gembira dan bahagia, karena pertolonganku sedikit banyak
telah membawa kebahagiaan pada keluarga miskin ini dan khususnya bagi ketiga
cucu nenek itu.
Sekarang si nenek dapat
berdiam di rumah untuk mengasuh cucu-cucunya sedangkan menantunya berjualan
gula-gula.
Pada suatu hari setelah
aku selesai makan malam, seorang pelayan masuk dan memberi tahu, bahwa ada
seorang tamu ingin berjumpa denganku. Aku menjawab agar tamu tersebut
dipersilahkan masuk. Ketika tamu itu masuk aku lantas mengenalnya yaitu kawanku
sewaktu masih sama-sama bersekolah.
Dari kawan-kawan lain
telah kudengar, bahwa ia sekarang tinggal di Utara dan memiliki sebuah
perusahaan besar. Kedatangannya membuat aku gembira sekali.
Setelah kami melepaskan
perasaan rindu masing-masing, aku lalu memandang wajahnya dengan lebih teliti.
Pada wajahnya jelas dapat terlihat tanda-tanda penderitaan yang hebat dan kedua
matanya guram, sehingga mudah dapat diketahui bahwa ia sedang sakit atau sedang
ditimpa kemalangan. Ia kelihatannya gelisah sekali, seolah-olah ia berada dalam
bahaya besar. Aku ajak ia ke kamar kerja, dimana kami dapat berbincang-bincang
tanpa dapat didengar oleh orang lain.
Setelah kami berada
berdua aku lantas bertanya kepadanya: “Aku rasa engkau sedang memikirkan
sesuatu. Harap engkau beritahukan saja kepadaku kalau sekiranya ada sesuatu
yang dapat aku bantu.”
Ketika mendengar
tawaran ini matanya agak lebih bercahaya dan tanpa ragu-ragu lagi ia berkata:
“Dugaanmu memang tepat sekali. Aku sekarang sedang dalam kesulitan besar.
Kira-kira dua ratus orang pekerja dan pegawaiku sedang menantikan pertolongan.
Andaikata aku gagal maka keluarganya mungkin akan kelaparan. Semua uangku sudah
habis dan aku sekarang tidak mengekspor barang-barang lagi. Telah sepuluh hari
lamanya aku berada di Bangkok, namun sampai sekarang aku masih belum berhasil
untuk mendapatkan pinjaman uang untuk melanjutkan usahaku. Aku telah menemui
beberapa orang teman karibku yang waktu dulu pernah aku tolong dan sekarang
keadaan mereka telah membaik. Aku meminta pertolongan mereka, namun dengan
mengajukan berbagai alasan mereka semua menolak untuk menolongku. Sekarang
engkau adalah orang terakhir yang akan aku hubungi. Biarpun kita sudah lama
tidak pernah berhubungan semenjak kita keluar sekolah, tetapi aku memberanikan
diri datang kemari untuk memohon pertolonganmu.
“Bukan hanya untuk
diriku sendiri saja, tetapi terlebih untuk dua ratus keluarga yang mungkin akan
kelaparan.”
Setelah mendengar
ceritanya aku lalu mengatakan, bahwa aku mengerti keadaannya dan merasa
bersimpati sekali. Selanjutnya kukatakan, bahwa tentu saja aku ingin
menolongnya kalau saja hal ini tidak berada di luar kemampuanku. Kawanku lalu
memberikan angka pasti yang akan cukup untuk dapat keluar dari kesulitan ini.
Angka itu merupakan jumlah yang besar, yang dalam keadaan biasa tidak mungkin
akan kuberikan. Tetapi sekarang aku telah bertekad untuk sebanyak mungkin
melakukan perbuatan baik sebelum aku meninggalkan dunia yang fana ini. Lagipula
aku telah mendengar dari kawan-kawan yang lain, bahwa kawanku ini termasuk
orang yang jujur dan baik hati, sehingga dengan tidak ragu-ragu lagi aku
mengambil keputusan untuk memberikan pinjaman yang diminta. Aku selalu percaya
kepada pepatah kuno yang berbunyi: “Uang
tidak dapat dibawa mati.” Oleh karena itu alangkah baiknya apabila uang itu
dapat aku gunakan untuk tujuan-tujuan baik sewaktu aku masih hidup.
Wajah kawanku bersinar
kegirangan ketika mendengar, bahwa aku bersedia memberikan pinjaman sejumlah
yang diperlukan. “Oh, engkau telah menolong jiwaku”, katanya dengan suara
tersendat-sendat karena perasan haru. “Besok pagi aku akan datang kembali
dengan membawa pengacaraku, untuk kemudian kita dapat menandatangani surat
perjanjian peminjaman.”
Kepadanya kukatakan,
bahwa hal itu sama sekali tidak perlu. Aku lalu menarik laci meja tulis, mengeluarkan
buku cheque dan menulis sejumlah uang yang diperlukan. Ia kelihatan terperanjat
sekali, seakan-akan melihat iblis di siang bolong ketika aku mengulurkan cheque
yang telah aku tanda tangani. Ia menerimanya dan memandangi cheque tersebut
seperti orang yang lupa ingatan dan kemudian memelukku. Ia menangis
tersedu-sedu dan air matanya berderai. Akupun turut menangis karenanya.
“Sekarang banyak jiwa
akan tertolong”, katanya setelah agak tenang. “Ketika aku berkunjung kemari,
sebenarnya aku tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan yang demikian
baiknya, sebab semua kawan-kawanku yang lain yang keadaannya sekarang sudah
baik, telah menolak untuk menolongku. Untuk itu aku merasa sangat kecewa. Aku
dapat diumpamakan sebagai orang yang hampir tenggelam dan akan menjangkau apa
saja yang dapat aku pegang. Kini suatu mukjizat telah terjadi engkau telah
menolong jiwaku dan juga telah memberikan harapan untuk melanjutkan
perjuanganku. Sebenarnya aku mengira bahwa hari ini merupakan hari penghabisan
bagiku.”
“Mengapa kau katakan
demikian?” tanyaku dengan heran.
“Engkau adalah
harapanku yang terakhir”, jawabnya. “Kalau sekiranya aku gagal di sini, maka
aku akan kembali ke hotel dan akan membunuh diri.” Untuk membuktikan
kata-katanya, ia mengeluarkan sepucuk pistol Colt 6,35 mm dari dalam tasnya
bersama tiga pucuk surat. Surat pertama ditujukan kepada polisi setempat, surat
kedua kepada ibunya dan surat ketiga kepada istrinya. Dalam suratnya kepada
polisi ia menulis, bahwa ia telah melakukan bunuh diri. Dalam surat yang
ditujukan kepada ibunya dan istrinya ia menyampaikan salam perpisahan dan
beberapa pesan yang singkat.
Bulu badanku berdiri
waktu aku membaca surat-surat tersebut.
Aku gembira sekali, bahwa aku terlah memutuskan untuk menolongnya.
Setelah kawanku pergi,
aku ceritakan peristiwa ini kepada istriku. Ia pun turut gembira atas kejadian
tersebut. waktu mendengar bagaimana kawanku menyatakan terima kasihnya ia pun
turut menangis.
Tak lama setelah kejadian di atas, Thailand
ikut terlibat dalam kancah peperangan. Harga barang-barang melonjak tinggi dan
demikian pula harga obat-obatan, terutama obat-obatan yang mahal harganya,
sehingga banyak orang yang meninggal karena penyakit radang paru-paru.
Apa yang telah
diramalkan oleh Tan Achan tidak pernah kulupakan dan aku tahu, bahwa ajalku
sudah dekat. Meskipun demikian aku tenang-tenang saja. Aku tidak memperoleh
anak dari istriku, walaupun kami telah menikah lebih dari sepuluh tahun
lamanya. Pernah istriku mengusulkan agar aku mengambil istri kedua, tetapi usulan
tersebut dengan tegas kutolak. Aku sangat menghargai usulannya, tetapi aku
lebih senang untuk membiarkan saja keadaan ini seperti yang dikehendaki oleh
nasib.
Namun demikian aku
belum dapat melihat tanda-tanda adanya kemungkinan, bahwa aku akan meninggal
secara mengerikan dan tanpa ada orang yang tahu, karena aku cukup dikenal
orang.
Selain itu Tan Achan
juga mengatakan, bahwa upacara-upacara untuk mengubah nasib seseorang hanyalah
untuk membantu supaya perasaannya lebih enak, tetapi sebenarnya tidak dapat
menolong apa-apa. Tan Achan juga mengatakan, tidak seorang pun selain diri kita
sendiri yang dapat menyingkirkan ketamakan kita dari keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Aku setuju sekali
dengan hal tersebut, karena aku sendiri telah mendapat kepuasan yang tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata saat menolong orang yang sedang ditimpa kemalangan.
Sejak aku diramalkan
nasibku, aku senantiasa berusaha untuk selalu melakukan perbuatan baik.
Meskipun aku tahu, bahwa perbuatan-perbuatan baikku mungkin baru akan berakibat
dalam waktu yang lama sekali, tetapi aku tahu pula, bahwa perbuatan jahat akan
berakibat lebih cepat. Sebenarnya aku tidak mengharapkan balas jasa apa-apa
dari perbuatan baikku.
Pada suatu malam ketika
perang di Timur jauh berlangsung kurang lebih satu tahun lamanya, pesawat
sekutu untuk pertama kalinya menjatuhkan bom di kota Bangkok. Beberapa bom
jatuh di Jalan Yawaradj dan di gedung kedutaan Jerman, sehingga menimbulkan
rasa cemas di kalangan penduduk kota Bangkok yang belum berpengalaman dalam hal
serangan-serangan udara. Diantara mereka ada yang mengungsi ke desa-desa ada
yang pindah ke pinggir kota untuk sedapat mungkin berada jauh dari pusat kota
dan tempat-tempat penting.
Aku menjadi khawatir
mengenai diri nenek Yai Chome, menantu dan cucu-cucunya. Aku bermaksud untuk
mengungsikan mereka ke tempat yang lebih aman kalau mereka menyetujuinya.
Memang aku tahu beberapa tempat yang baik. Untuk keperluan ini aku pergi
menemuinya dan membicarakan hal tersebut.
“Tetapi tuan sendiri
mau ke mana?” tanya si nenek dengan penuh perasaan ingin tahu.
Aku katakan kepadanya,
bahwa aku tidak akan mengungsi, karena kami tidak mempunyai anak yang harus
dipikirkan. Lalu nenek Yai Chome menjawab, bahwa ia juga tidak ingin mengungsi
kemana-mana. Aku mencoba membujuknya demi kepentingan cucu-cucunya. Aku juga
mengatakan bahwa mengenai tempat tinggal ia tak usah pikirkan, karena dengan
mudah aku dapat mencarikannya.
“Tuan sudah pernah
menolong jiwa kami sekeluarga. Kalau tuan tidak mengungsi, apakah kami harus
takut untuk tetap tinggal di sini. Tidak tuan, kami tidak takut akan bahaya.
Kalau tuan tidak pergi, kamipun akan
berdiam terus di rumah ini”, kata nenek itu.
Pada keesokan harinya,
tepat pada hari Waisak terjadilah peristiwa yang paling mengesankan dalam
hidupku. Hari itu aku berada di daerah Pahurat untuk keperluan dagang.
Tiba-tiba terdengar suara sirene tanda serangan udara. Ini berarti, bahwa
pesawat-pesawat sekutu sedang mendekati kota Bangkok dan akan mengebomnya pada
waktu siang hari. Tidak lama lagi terdengarlah raungan pesawat-pesawat terbang
di atas kota dan mulai menjatuhkan bom mereka. Tempat-tempat perlindungan
seketika diserbu dan menjadi penuh sesak, karena pada waktu itu bioskop baru
saja selesai dengan pertunjukan pagi dan orang-orang yang menonton berlari-lari
kesana-kemari mencari perlindungan.
Terdengar bom jatuh di
dekat tempatku berada. Hal ini menyebabkan orang-orang menjadi lebih panik.
Cepat-cepat aku lewati gedung bioskop dengan maksud untuk mencari tempat yang
aman di Vihara. Di depanku aku melihat seorang gadis kecil di tengah jalan
sedang menangis-nangis mencari ibunya. Tetapi tidak seorangpun yang menaruh
perhatian kepadanya, karena pada waktu itu keadaan benar-benar sedang kacau
balau. Semua orang hanya berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja.
Timbullah rasa kasihan dalam hatiku melihat gadis kecil tersebut yang kukira
berumur tiga tahun. Aku berlari ke arahnya untuk membawanya ke salah satu
lubang perlindungan. Pada waktu itu aku mendengar bom-bom meletus makin dekat
dan makin dekat.
Waktu aku hampir tiba
di tempat ia berdiri, tiba-tiba anak itu terjatuh. Aku segera membungkuk untuk
mengangkatnya bangun. Tepat pada saat itulah sebuah bom meledak di dekat tempat
kami berada. Pecahannya telah memapas bagian atas topi yang sedang kupakai,
sehingga rambutku dapat terlihat dan kepalaku terasa dingin. Karena tekanan
udara yang disebabkan oleh ledakan bom tersebut hampir-hampir saja aku jatuh menimpa si anak gadis. Saat
itu aku benar-benar berada di antara hidup dan mati. Kalau saja sekiranya pada
waktu itu gadis kecil tersebut tidak terjatuh dan aku tidak membungkuk untuk
mengangkatnya, maka pasti tamatlah sudah riwayatku. Tentu cerita ini tidak akan
sampai kepada saudara-saudara sekalian.
Aku peluk anak itu dan
lari ke salah satu tempat perlindungan. Ketika aku melihat sekelilingku, aku
melihat banyak orang yang terluka dan berdarah, sedangkan banyak anggota badan
manusia yang berserakan di sana-sini. Alangkah beruntungnya, bahwa aku beserta
anak gadis itu masih hidup. Ketika aku melihat wajah anak gadis itu agak cemas,
sebab ia tidak menangis lagi dan matanya memandang ke depat dengan tidak
berkedip. Semula kukira, bahwa ia telah mati karena kaget. Untung saja perkiraanku
keliru, sebab sebenarnya ia sedang memandiangi wajahku yang asing sekali
baginya. Dengan memeluk anak gadis itu aku menuju ke Wat Shutat dan
ledakan-ledakan bom lambat laun berhenti.
Aku memasuki Vihara
yang ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang mencari perlindungan. Di
antara mereka aku melihat seorang wanita yang berumur kira-kira tigapuluh
tahun, sedang menangis. Di dekatnya berada tiga orang anak gadis dan seorang
anak laki-laki. Mereka sedang sibuk membicarakan seorang anak yang hilang,
karena mereka menduga, bahwa anak tersebut dibawa oleh orang yang lain ketika
mereka berpisah mencari tempat perlindungan.
Setelah mereka sekarang
berkumpul kembali dan tidak melihat anak itu, mereka saling salah-menyalahkan
satu sama lain. Ketika wanita muda itu melihatku, ia lari mendekatiku lalu
menarik anak tadi dari pelukanku. Anak itu lalu dipeluk erat-erat dan diciumi
sambil menangis tersedu-sedu karena kebahagian.
“Oh, anakku sayang.” Dan
ketika mereka sedang tertawa-tawa karena kegirangan, aku mencari jalan untuk
keluar dari Vihara melalui pintu samping.
Sebab aku menduga mereka pasti akan mencari aku untuk menghaturkan rasa
terima kasih. Aku sudah merasa puas melihat keluarga anak itu bergembira karena
gadis kecil itu telah selamat.
Sampai hari ini pun aku
belum dapat memastikan, apakah benar aku yang menolong anak itu ataukah bukan
sebaliknya, anak itulah yang telah menolong jiwaku. Kalau sekiranya pada waktu
itu aku terkena pecahan bom dan meninggal, siapakah yang akan dapat mengetahui
dan mengenalnya kembali? Karena beberapa mayat yang bergelimang di sekitar
tempat itu tidak lagi dapat dikenal. Kalau demikian halnya, siapakah yang dapat
memberitahukan kepada istriku? Mungkin potongan-potongan badan manusia itu
dikumpulkan menjadi satu, lalau ditanam sebagai orang yang tidak dikenal. Ketika
membayangkan hal ini, tubuhku gemetar dan aku teringat kepada apa yang telah
diramalkan oleh Tan Achan, yaitu aku akan meninggal dengan cara yang mengerikan
dan tidak ada yang mengetahuinya. Tidak pernah kuduga, bahwa sebenarnya aku
harus meninggal dengan cara yang demikian mengerikan. Tetapi untunglah
peristiwa itu sekarang sudah berlalu. Aku hanya berdoa agar jangan mengalami
peristiwa semacam itu lagi di kemudian hari. Ketika aku mengangkat gadis kecil
itu dari tengah jalan, aku tidak memikirkan bahaya. Pada saat itu pikiranku
hanyalah untuk menolong anak itu, padahal orang lain berlari-lari mencari tempat
perlindungan. Waktu itu tidak ada seorangpun yang memperhatikan gadis itu. Aku telah
terlepas dari maut karena telah mempertaruhkan nyawaku untuk menolong orang
lain. Aku sangat gembira, bahwa perbuatan baik yang kulakukan dapat berbuah
dengan demikian cepatnya.
Setelah hari yang tidak
dapat kulupakan itu serangan udara semakin lama semakin hebat. Pada suatu pagi
seorang Bhikku datang mengunjungi rumahku dengan jubah kuningnya yang kelihatan
anggun sekali. Beiau memberitahukan, bahwa Beliau datang dari Utara. Selagi lewat
di tempat ini Beliau singgah untuk menjengukku, karena Beliau telah mendengar
tentang diriku dari kawanku yang tinggal di Utara.
Kawan itu ternyata yang
pernah kutolong beberapa waktu yang lalu ketika ia sedang dalam kesulitan
keuangan.
Aku mengundang Bhikku
itu untuk bermalam di rumahku dan menyediakan makanan untuk sarapan pagi dan
tengah hari. Istriku membersihkan kamar tidur di ruangan atas untuk dipakai
Beliau, sedangkan kami sendiri pindah tidur di kamar bawah. Pada malam harinya
kami mengobrol ke barat dan ke timur sampai pada suatu ketika istriku memohon
agar Beliau mau melihat nasib kami. Istriku ingin mengetahui, apakah aku
sekarang sudah terbebas dari bahaya atau belum dan apakah yang akan terjadi pada
waktu yang akan datang.
“Sebenarnya aku tidak
suka meramalkan nasib”, jawab Beliau.
“Aku harus mengatakan
hal-hal yang benar, sebab seorang Bhikkhu tidak boleh berdusta. Kamu telah
memohon agar aku mau melihat nasib dari suamimu dan sekarang aku terima
permohonanmu itu. Kamu harus selalu ingat, bahwa kita, mau atau tidak mau,
harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita dari kehidupan ini dan juga
dari kehidupan yang lampau.” Kemudian Beliau menutup matanya dan bermeditasi. Aku
dan istriku saling pandang, kira-kira setengah jam kemudian Bhikkhu itu membuka
matanya. Sambil tersenyum ia berkata: “Wah, sebenarnya suamimu sudah harus meninggal
pada hari Waisak yang lalu. Tetapi untunglah hari naas itu telah berlalu. Sungguh
suatu keajaiban. Lalu kupusatkan pikiranku untuk mengetahui apa yang telah
menyelamatkan jiwa suamimu, dan jawabannya ialah perbuatan-perbuatannya yang
mulia yang menjadi penolongnya. Mulai dari sekarang kamu berdua akan menghadapi
masa yang bahagia.”
Sesudah itu kami masih
bercakap-cakap untuk beberapa waktu lamanya dan kemudian mempersilahkan Beliau
untuk beristirahat di ruangan atas. Ketika hendak menaiki tangga, Beliau
berpesan: “Malam nanti, apapun juga yang akan terjadi yang membuatmu cemas,
kuharap dengan sangat supaya kamu tenang-tenang saja dan jangan mengganggu aku.
Dan sekarang selamat malam”
Malam itu wajah istriku
kelihatan cerah dan gembira sekali; hal yang tidak pernah kulihat sejak
beberapa tahun yang lalu.
Kesunyian malam itu
diganggu dengan suara sirene. Aku dan istriku terbangun dan ia meminta aku
untuk membangunkan Bhikkhu yang sedang tertidur di kamar atas. Ketika itu aku
teringat pesannya untuk jangan diganggu, meski apapun yang terjadi.
Pesawat-pesawat sekutu
telah beterbangan di atas kota Bangkok dan mulai menjatuhkan bom sehingga
seluruh kota menjadi bergetar hebat akibat ledakannya. Aku memerintahkan agar
semua orang masuk ke lubang perlindungan yang digali di halaman muka rumah
kami. Kami mendengar pesawat melayang-layang di atas kepala kami dan terdengarlah
ledakan yang satu disusul dengan ledakan yang lain. Lubang perlindungan kami
bergetar seperti sebuah perahu yang sedang dilanda gelombang besar. Kami harus
bediam di lubang perlindungan itu hingga pagi hari. Ketika aku keluar, kukira
rumahku telah menjadi tumpukan puing, tetapi alangkah gembiranya ketika aku
melihat, bahwa segala sesuatunya masih seperti sediakala.
Kami berdua mengantuk
sekali, sehingga langsung saja masuk ke kamar tidur tanpa memperhatikan kepada
orang-orang yang masih sibuk membicarakan serangan udara pada kemarin malam. Pagi
itu aku bangun agak siang dan teringat, bahwa kami mempunyai tamu yang belum
disediakan makanan pagi.
Ketika aku keluar dari
kamar, aku mendengar dari istriku, bahwa Bhikkhu tersebut sudah meninggalkan
rumah kami, sewaktu aku masih tidur nyenyak. Tukang masak kami masih berjumpa
dengan Beliau pada pagi hari. Sebelum pergi Beliau berpesan supaya jangan
membangunkan kami. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa mulai sekarang kami
akan hidup bahagia.
Ketika istriku keluar
dari kamar tidur, waktu itu Beliau sedang keluar pintu pekarangan, sehingga
istriku hanya dapat melihat jubah kuningnya saja. Istriku berlari-lari ke pintu
pekarangan untuk mengundang Beliau makan pagi, tetapi ketika ia sampai di muka
pintu pekarangan, Bhikkhu itu sudah tidak kelihatan lagi.
Pagi itu aku menemukan
dua buah bom yang tidak meledak, terbenam dalam tanah di kiri dan kanan rumah. Untunglah,
bahwa bom itu tidak mengenai semen, sebab kalau demikian halnya pastilah ia akan
meledak dan seluruh rumah tentu akan musnah.
Aku mengirim orang
untuk memberitahukan petugas yang berwenang. Tidak lama kemudian regu penjinak
bom datang untuk menyingkirkan kedua bom tersebut.
Setelah itu tidak
terjadi lagi hal-hal yang penting sampai tentara Jepang menyerah tanpa syarat
kepada tentara sekutu.
Beberapa hari kemudian
aku pergi mengunjungi Yai Chome, si nenek. Ketika aku masuk ke rumahnya, aku
terkejut melihat Cherd yang pernah bekerja di rumahku sebagai supir untuk
beberapa bulan lamanya. Kemudian ia telah menghilang secara mendadak dan diduga
sebagai orang yang mencuri perhiasan istriku.
“Oh, apa kabar, Cherd?”
tanyaku ketika hendak duduk. Tiba-tiba ia berlutut di depanku dan aku tambah
heran ketika Yai Chome berkata kepadaku: “Tuan, inilah Cherd, anakku. Ia telah
di penjara untuk beberapa waktu lamanya dan aku telah memberitahukan kepadanya,
bahwa tuanlah bintang penolong kami. Tanpa pertolongan tuan, kami tak mungkin
dapat hidup seperti sekarang ini. Mulai dari sekarang anak saya berjanji, bahwa
ia akan bertobat dan mulai dengan hidup yang baru.”
“selamat, selamat
Cherd. Kamu tahu, bahwa kita semua harus menderita dan membayar untuk
perbuatan-perbuatan kita yang tidak baik. Aku gembira, bahwa engkau telah
bertobat dan mulai hari ini akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
berguna,” kataku menghibur. Ia menangis tersedu-sedu, sebab ia tidak pernah
bermimpi bahwa akulah yang menjadi penolong ibu dan keluarganya.
“Besok aku ingin datang
mengunjungi tuan dan nyonya di rumah”, katanya, “sebab aku ingin membuat suatu
pengakuan”.
“Ah, tidak usalah kamu
datang,” kataku, “aku yakin istriku akan turut gembira mendapat kabar tentang
dirimu.”
Setelah bercakap-cakap
untuk beberapa saat lamanya, akupun lalu pulang. Keesokan harinya ketika kami
sedang makan, seorang pelayan memberitahukan, bahwa Cherd telah datang dan
ingin bertemu dengan kami. Aku menyuruh
Cherd masuk. Waktu masuk ia membawa sebuah bungkusan yang kelihatannya berat. Kemudian
ia berlutut di hadapanku dan di hadapan istriku.
“Tuan,” katanya, “Ibu
telah memberitahukan kepadaku, bahwa tuan telah menunjang keluarga kami dan ia
pun tiap malam berdoa di hadapan patung Sang Buddha untuk memohon agar tuan
diberkahi banyak keberuntungan, umur panjang dan dijauhi dari mara bahaya. Tuan
telah membuat aku malu untuk semua perbuatan-perbuatanku di masa yang lalu. Aku
sekarang telah sadar, bahwa aku telah mengambil jalan yang salah. Sayalah sebenarnya
orang yang mencuri perhiasan-perhiasan nyonya dan sekarang aku datang untuk
mengembalikannya lagi. Peti yang aku
curi aku tanam di taman, karena takut ketahuan. Aku kira tuan pasti akan
memanggil polisi dan menangkapku. Pada waktu itu datanglah kawan-kawanku yang
membujuk aku untuk turut melakukan perampokan. Aku ikut mereka pergi ke salah
satu rumah, tetapi pemiliknya telah mengetahui terlebih dahulu sehingga kami
dijebak oleh polisi dan akhirnya tertangkap. Saya di bawa ke depan pengadilan
dan dihukum penjara. Karena saya membuat pengakuan lengkap sebelum di bawa ke
depan pengadilan, maka saya mendapat keringanan hukuman.
Waktu keluar dari
penjara, saya langsung pulang ke rumah dan mengira, bahwa keluarga saya berada
dalam keadaan sulit. Tetapi apa yang kulihat justru sebaliknya. Ibu, istri dan
anak-anakku semua berada dalam keadaan yang baik dan ini semua berkat kebaikan
hati tuan. Karena itu saya akan selalu ingat budi kebaikan tuan. Saya menggali
kembali peti yang telah saya tanam dan dengan ini saya mengembalikannya kepada
tuan dan nyonya. Mohon ampun atas perbuatan saya yang terkutuk ini.”
Kemudian Cherd membuka
bungkusan itu dan kami mengenali peti perhiasan kami yang masih penuh lumpur. Istriku
membukanya dengan kunci yang masih disimpannya dan setelah diperiksa tidak ada
sebuah barangpun yang hilang. Kemudian ia mengambil sebuah kalung dan
dihadiahkan kepada Cherd untuk istrinya. Cherd terperanjat sekali untuk
kebaikan istriku dan kembali ia berlutut untuk menyatakan terima kasihnya. Dan apa
yang terjadi ini meyakinkan aku, bahwa Cherd sekarang telah berubah. Tetapi aku
tahu pula, bahwa seseorang dapat berubah pikiran apabila keadaannya sangat
memaksa. Oleh karena itu aku mencarikan pekerjaan untuk Cherd, sehingga ia dapat
memperoleh penghasilan yang cukup untuk memelihara keluarganya.
Tidak lama kemudian aku
menerima sebuah surat dari kawanku yang dulu hampir saja bunuh diri andaikata
pada waktu itu aku tidak menolongnya. Ia memberi kabar, bahwa perusahaannya
sekarang telah maju kembali dan ia telah memperoleh keuntungan yang besar. Ia bermaksud
untuk membawa serta keluarganya ke Bangkok untuk bertemu dengan aku. Suratnya aku
balas dengan menulis, bahwa ia tak usah repot-repot untuk membawa serta istri
dan anak-anaknya, hanya semata-mata untuk mengucapkan terima kasih kepadaku
tentang apa yang pernah kulakukan. Juga aku minta agar ia tak usah melakukan
perjalanan itu kalau tidak diperlukan sekali, karena aku belum membutuhkan uang
tersebut.
Sepuluh hari kemudian
kawanku tiba di Bangkok bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya. Mereka membawa
hio (dupa), lilin, mangkuk dan daun akasia. Aku kira, bahwa salah seorang dari
anaknya ingin ditahbiskan menjadi Bhikkhu, tetapi sebenarnya mereka datang
untuk “dum-hua”.
Pada mulanya aku tidak
tahu arti dari “dum-hua” ini, karena kata-kata ini jarang sekali digunakan di
Bangkok. Kemudian aku baru tahu, bahwa artinya ialah menyiramkan air suci pada
telapak tangan orang tua yang dihormati.
Setelah upacara
selesai, aku memberkahi mereka. Kemudian kawanku memberikan aku selembar cheque
dengan jumlah yang melebihi jumlah yang telah dipinjamnya dahulu. Aku menolaknya.
Ia memohon agar aku mau menerimanya, karena menurut pendapatnya nilai uang pada
waktu itu lebih tinggi dari pada waktu sekarang. Lagipula, karena petolonganku
jiwanya dan juga perusahaannya telah tertolong.
Aku menjelaskan kembali
kepadanya, bahwa aku menolongnya tanpa ada pengharapan balas jasa apapun. Lagipula
aku tidak mempunyai anak dan aku tidak dapat membawa uang kalau sekiranya kelak
aku meninggal dunia.
Aku mempertahankan
pendapatku, bahwa aku tidak mau mengambil uang yang lebih itu dan hanya mau
menerima uang sebanyak yang dahulu kupinjamkan.
Ia menulis cheque yang
baru dan memujiku di hadapan istri dan anak-anaknya disertai pesan untuk selalu
ingat dan berterima kasih kepadaku selama mereka masih hidup.
Aku merasa bahagia
sekali dapat menolong mereka sesama manusia dan kebahagiaan ini tidak dapat
dibeli dengan uang, meskipun bagaimana besar jumlah uang yang kita miliki.
Tidak pernah kulupa,
bahwa pada hakekatnya segala sesuatu dalam hidup ini tergantung pada diri kita
sendiri, bagaimana tertulis dalam Kitab
Suci Samyutta Nikaya:
“Sesuai denga benih yang telah ditabur
Begitulah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebaikan akan mendapat
kebaikan
Pembuat kejahatan akan memetik
kejahantan pula
Taburlah olehmu biji-biji benih dan
Engkau pulalah yang akan merasakan
buah dari padanya.”
Sekarang aku dapat
menghadapi maut dengan wajah tersenyum.
Terima kasih kepada Pandita S. Widyadharma yang telah mengalihbahasakan cerita yang sangat bagus ini, juga kepada Vimala Sari yg menyunting cerita ini dan Meia Gomulya yang telah mempublikasikannya.
BalasHapusSayang ada cukup banyak salah ketik (typo) yang masih ada (mungkin ada belasan). Kemudian ada beberapa kata yang terbalik, seharusnya maksudnya "aku" tetapi tertulis "kau"
Saya sempat melakukan pemeriksaan cepat dan menandai kesalahan-kesalahan tersebut.
Artikel yang bagus ini akan jadi lebih baik lagi kalau kesalahan-kesalahan diatas dapat diperbaiki.
Saya ingin menyampaikan kepada Vimala Sari kesalahan editing tersebut agar dapat diperbaiki. Saya bisa dihubungi di hoganklim@gmail.com
Salam, Hogan
terimakasih atas perhatiannya.
HapusSaya telah dihubungi Metta Juwita via email dan saya telah memberikan masukan untuk perbaikan. Salam, Hogan.
Hapusterima kasih sekali lagi :)
HapusNamo Buddhaya
Sama-sama... Namo Buddhaya
HapusSalam kenal. Alamat blog meia ada di blog saya. Silakan mampir di: http://vihara.blogspot.com/2011/06/daftar-blog-buddhis-pribadi.html
BalasHapusterima kasih untuk share nya ^^
Hapussalam Dharma, Namo Buddhaya