Sering kali kita berkata bahwa kita tidak memiliki waktu. Namun kita tahu bahwa sesungguhnya waktu kita semua di dunia ini adalah sama, tidak kurang tidak lebih barang satu detikpun juga dalam menjalani harinya sampai dengan ajal menjemput kita diakhir kehidupan. Terkadang kita memiliki mental lemah yang dapat dikatakan cacat. Mental dimana kita ingin selalu dikasihani dan merasa sudah melakukan yang terbaik dan berharap memperoleh yang tebaik juga. Padahal kita belum memerah diri sebegitu kerasnya.
Terkadang kita berkata tidak ada waktu, padahal hanya kita yang tidak bisa menentukan prioritas mana yang harus kita dahulukan. Mana yang lebih penting dan berharga. Karena sesungguhnya semua orang pun sama memiliki waktu yang sama. Terkadang hanya alasan kita untuk tidak melakukan suatu pekerjaan karena memang tidak menyukainya.
Seperti aku sekarang ini, berkata "kita" namun sesungguhnya adalah "saya". Semua yang aku katakan adalah tentang diriku sendiri, yang merasa lemah dan ingin dimaklumi. Mentalku lemah, diriku terbawa aliran waktu mengalir apa adanya. Diriku kehilangan arah, siapakah aku?
Aku berdoa, aku berharap tanpa berusaha. Kemanakah aku akan berakhir? Hanya kegagalan dan kekecewaan karena tidak mampu menyelesaikan segala yang didoakan tersebut. Namun salah siapa? Diriku sendiri.
Karena aku bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Kemana aku, apa yang aku lakukan, bagaimana aku akan berakhir dan dikenang. Aku mulai berpikir jauh kemasa depan yang belum terjangkau. Namun sudah mampu aku pikirkan. Apakah aku akan jadi ibu yang baik? Menjadi ibu rumah tangga atau tetap menjadi wanita karir? Salahkan menjadi wanita yang berkarir? Egoiskah pada anakku nanti?
Kemajuan zaman dan "emansipasi" katanya aku tak tahu kemana hatiku ingin pergi. Aku tak ingin hidup tanpa menghasilkan, tapi aku tetap bisa menghasilkan didikan yang baik aku harap. Bagaimana caranya? Hanya dengan aku yang mampu dan memiliki kemampuan. Maka sebab itulah kita harus menjadi mampu dan tidak berhenti belajar karena inilah hidup.
Aku melihat sekelilingku dimana wanita bekerja dari pagi hingga larut. Dimana anak-anak yang masih butuh sosok yang diikuti melihat pada orang lain terkadang baby sister atau mungkin nenek yang menjaganya. Aku harap bila aku memiliki buah hati aku bisa ada disana melihat perkemangan mereka dan mereka melihatku sebagai sosok ibu bukan hanya orang yang pulang malam dan melihat mereka tertidur.
Aku harus mampu.
Karena apa aku berkata? Ibuku selalu ada, tapi aku tahu rasanya sepi hanya mampu melihat punggungnya. Aku seperti manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang, karena aku merasa aku selalu kesepian. Aku harap aku tidak membuat orang lain merasakan hal yang sama. Tapi mungkin aku pun akan egois dalam pilihan hidup dengan ingin tetap bekerja. Dilema kehidupan.
Dilema yang bahkan masih jauuh sekali dipandangan mata namun sudah terus terpikirkan saat ini.
Salam
Aku yang belum tahu arah.
16.09.18